Uang dan Kekuasaan
Terkait dengan hal tersebut, Profesor riset bidang intermestic affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti dalam sebuah artikelnya (2012) menuliskan, bahwa politik di Indonesia tidak lepas dari permainan uang dan kekuasaan. Untuk memperoleh kekuasaan, tidak sedikit orang Indonesia menggunakan uang. Tidak sedikit pula dari mereka yang setelah memperoleh kekuasaan berharap akan mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Dari uang yang lebih banyak itu, ia juga akan “membeli kekuasaan” yang lebih besar lagi. Jadi rumusnya ialah M (money) akan mendapatkan kekuasaan P (power). Dari P itu ia akan mendapatkan MM (more money). Dari MM itu ia akan memperoleh MP (more power) dan seterusnya.
Dengan kata lain, tidak sedikit orang di Indonesia terjun ke politik bukan untuk memperoleh kekuasaan yang akan digunakan demi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan bagi diri sendiri
Begitu juga dengan tersedotnya anggaran negara yang cukup besar. Semua cost itu sepertinya menguap nyaris tanpa bekas dan menjadi investasi yang gagal dan mubazir.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa ada kecenderungan Parpol di Indonesia itu hidup dan berkembang bergantung kepada citra sang pemimpin partai, apakah ketua umumnya ataupun ketua dewan pembinanya.
Parpol-parpol di Indonesia hanya bergerak dinamis setiap lima tahun sekali, yaitu menjelang pemilihan umum. Selebihnya, parpol-parpol tersebut “tidur pulas” sepanjang masa dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Oleh karenanya, jangan heran bila proses rekrutmen politik, kaderisasi politik, pendidikan politik, dan komunikasi politik tidak dijalankan sebagian besar partai politik, termasuk parpolparpol yang memiliki anggota di parlemen (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota). Apalagi partai-partai yang tidak memiliki anggota di parlemen tentunya sulit menggerakkan anggota karena tidak memiliki dana untuk melakukan semua itu.
Salah satu cara untuk membaca situasi perilaku penguasa dalam memaksimalkan keuntungannya adalah dengan melakukan pendekatan the New Political Economy atau yang lebih dikenal dengan istilah “Rational Choice”. Asumsi dasar yang dibangun dalam pendekatan ini adalah bahwa manusia adalah mahluk yang egois dan rasional. Sifat ini akan membuat manusia untuk selalu berusaha secara rasional dapat dilaksanakan dan akan membantu tercapainya kepentingan tersebut. Pada intinya manusia akan berusaha untuk sebisa mungkin mendapatkan keuntungan yang optimal dengan memanfaatkan segala fasilitas dan kemampuan yang ia miliki dengan segalaketerbatasan atau kendala yang ada. Cabang lain dari ilmu kontemporer teori pilihan negara, bermula dengan pandangan bahwa para agen dalam organisasi sektor baik swasta maupun negara akan mempunyai agenda-agenda yang sangat berbeda dari agenda-agenda para principal mereka.
Kisah tentang pengusaha yang menerobos kekuasaan, baik karena kedekatan, kolusi, maupun peran ganda,sesungguhnya telah masuk dalam kajian ekonomi politik sejak dulu. Pembahasan ini pertama kali dilakukan oleh Anne Krueger pada tahun 1973, yang membuat makalah mandiri dari karya GordonTullock. Teori yang mengkaji masalah itu dikenal dengan sebutan teori perburuan rente ekonomi (theory of economic rent-seeking). Teori tersebut menjelaskan fenomena perilaku pegusaha untuk mendapatkan lisensi khusus, monopoli dan fasilitas lainnya dari pihak yang berwenang, yang mempunyai kekuasaanatas bidang tersebut. Dengan lisensi khusus, maka dengan mudah pelaku yang lain tidak bisa masuk pasar. Karena itu, perilaku pemburu rente ekonomi biasanya merupakan perilaku anti persaingan atau menghindari persaingan.
Penutup
Memang tidak semua pengusaha yang berpolitik berdampak negatif. Namun pengalaman empirik di negara berkembang menunjukkan, kemung-kinan tabiat koruptif dari dwifungsi itu justru semakin membesar.
Karena umumnya, motivasi utama para pengusaha atau “’taipan” berpolitik guna mempertahankan kepentinganbisnisnya (Harris2003). Tracking yang dilakukan menunjukkan, pebisnis di negara berkembang yang berpolitik adalah kroni kapitalis, bukan entrepreneur sejati. “Kerajaan” bisnis yang dibangun bukan hasil persaingan usaha sehat dan inovasi bisnis, tetapi dari privilege dan konsesi yang diberikan patron politik. Yashiro Kunio (1990) menamakannya ”kapitalissemu” (ersatz-kapitalism), yaitu pengusaha yang tumbuh karena memiliki hubungan mesra dengan rezim yang lagi berkuasa. (*)