Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Shaum itu demi taqwa, syariah abadi sejak diwajibkan (kutiba) kepada Nabi-nabi terdahulu.
Idulfitri itu hakekat kemenangan atas hawa nafsu, ketidakadilan, kemunafikan, kekafiran dan kemunafikan.
Esensi di baliknya tentulah konsolidasi keummatan untuk perbaikan kondisi dan pemberantasan semua ketidak beresan sistemik.
Rab mengabadikan nama-nama orang jahat seperti Fir’aun di dalam kitab suci. Untuk apa gerangan? Lawan Fir’aun versi zamanmu.
Karena itu jangan tenggelam oleh budaya-budaya yang potensil mengundang pengaburan makna.
Jika punya segantang beras pulut dan tiga atau empat butir kelapa, bolehlah menyajikan lemang untuk handai taulan.
Jangan lalai membangun dan memperkokoh silaturrahim politik, budaya dan ekonomi dengan semua sarana sejenis itu.
Jangan sekalikali tiru watak lemang yang ketika dilepas dari wadah bambu gosong itu, yang tersisa hanyalah konstruk batangan lembek untuk santapan yang bahkan manula yang sudah tak bergigi lagi pun sama sekali tak berkesulitan melumat dan menelan.
Taqabbalallah minna wa minkum.
Medan, 30 Ramadhan 1443 H