TAJDID.ID || Ribuan demonstran memenuhi jalan-jalan kota Kolombo dan sejumlah kota lainnya di Sri Lanka. Mereka mendesak Mahinda Rajapaksa agar segera mundur dari jabatan Perdana Menteri Sri Lanka, karena ia dianggap telah gagal memimpin Sri Lanka, sehingga negara tersebut jatuh dalam krisis ekonomi dan politik yang sangat parah.
“Gota pulanglah!” ratusan orang meneriakkan yel-yel di sepanjang jalan besar yang teduh di ibu kota Kolombo pekan ini. Mobil-mobil melintas sambil membunyikan klakson sebagai tanda dukungan.
Baca juga: Terperangkap “Jebakan Utang” China, Ekonomi Sri Lanka Sekarat
Dari kota-kota pesisir di selatan hingga daerah berbahasa Tamil di utara, lebih dari 100 demonstrasi digelar di seluruh Sri Lanka sejak pekan lalu, menurut lembaga penelitian WatchDog.
Gelombang protes secara spontan pertama dalam sejarah negara itu mencerminkan kemarahan rakyat pada inflasi yang membelit, pemadaman listrik dan apa yang mereka anggap sebagai salah urus penguasa dalam penanganan krisis.
“Orang-orang Sri Lanka sangat, sangat sabar. Anda harus menyudutkan mereka sebelum mereka bereaksi,” kata Chantal Cooke, seorang pengunjuk rasa, sambil memegang spanduk yang menuntut keluarga Rajapaksa mundur.

Banyak kalangan menilai, tuntutan rakyat Sri Lanka ini tak pernah dibayangkan sebelum krisis ekonomi menerjang, sebab dinasti Rajapaksa begitu dominan dan kuat menguasai konstelasi politik di Sri Lanka.
Mahinda Rajapaksa memenangi pemilu 2020 untuk menjadi perdana menteri Sri Lanka dan bekerja di bawah adik laki-lakinya, Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Kemudian saudara mereka, Basil Rajapaksa, menambah cengkeraman keluarga itu di puncak kekuasaan usai diangkat sebagai menteri keuangan pada 2021.
Namun, kurang dari setahun kemudian, dinasti politik terkenal di negara itu menghadapi masalah.
Di dalam parlemen pun keluarga itu telah kehilangan cengkeramannya. Basil mengundurkan diri pada Minggu bersama anggota kabinet lain.
Pada Selasa, sedikitnya 41 anggota parlemen keluar dari koalisi partai berkuasa, menyisakan sedikit anggota yang masih mendukung pemerintah dan membuka kemungkinan diajukannya mosi tidak percaya.
“Semakin jauh (krisis) itu terseret, semakin buruk bagi keluarga Rajapaksa,” kata analis politik Kusal Perera, penulis buku tentang Mahinda sebagai mantan presiden.
Kantor sang presiden belum menanggapi permintaan untuk mengomentari krisis dan desakan kepadanya untuk mundur.
Namun, kepala mesin politik pemerintah yang juga Menteri Jalan Raya Johnston Fernando mengatakan Gotabaya (72 tahun) telah diberi mandat untuk memerintah oleh 6,9 juta pemilih yang mendukungnya dalam pemilihan presiden 2019.
“Sebagai pemerintah, kami dengan jelas mengatakan bahwa presiden tidak akan mundur dalam keadaan apa pun,” kata Fernando di depan parlemen pada Rabu.
“Kami akan menghadapi ini.” tegasnya. (*)