Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Negara-negara bekas jajahan dipandang wajib tunduk kepada dirijen Barat karena mereka barbar, primitif, tradisional atau yang diperhalus dengan istilah negara dunia ketiga atau negara terbelakang, negara sedang berkembang dan sebagainya. Demokrasi adalah instrumennya, dan dalam tatanan dunia yang semakin tidak adil itu sekehendak hati negara-negara Barat terus mengambil keuntungan apa saja yang dia perlukan atas nama demokratisasi.
Tahir Abbas (Islamophobia and Radicalisation: A Vicious Cycle, 2019) menegaskan bahwa sejak 1970-an, ada tiga tantangan terhadap identitas ‘nasional’ tradisional dan homogen di seluruh dunia Barat. Tantangan itu ialah ketidaksetaraan politik dan sosial ekonomi, globalisasi nilai dan praktik neoliberal, dan penguatan masyarakat multikultural yang lebih beragam.
Seperti yang juga terjadi di Amerika Serikat dan tempat lain di Eropa Barat, kemerosotan identitas nasional yang lama kini mulai beranjak ke era baru yang suram bagi Inggris. Sejak era perang melawan teror ditambahkan ke dalam bentuk sikap campuran yang kacau ini, setiap yang dipandang sebagai “The Other” di Inggris telah dianiaya secara brutal. Secara konsisten, Muslim, yang secara rutin ditampilkan sebagai sumber penyakit masyarakat, dalam opini media mau pun perbincangan sehari-hari, tak pelak menjadi sasaran kekerasan baik simbolis maupun nyata.
Rekonstruksi nilai dan pandangan yang merujuk pada norma-norma yang berurat-berakar dan rasial secara struktural serta-merta telah memperkuat isolasi dan keterasingan yang menghalangi integrasi Muslim di dunia Barat mau pun di negeri-neri non-Barat dan bahkan di negeri-negeri yang berpenduduk masyoritas muslim. Mereka dikurung di dalam kerangkeng buatan baru berbasis ketidaksetaraan politik dan sosial ekonomi yang terus dipertahankan, globalisasi neoliberal yang terus-menerus mempersempit jalan untuk keadilan, dan bentuk-bentuk baru masyarakat multikultural yang didisain memusuhi muslim dan dunia Islam di mana pun mereka berada. Baik Muslim yang selalu harus dicap ‘tertinggal’ dan kelompok kulit putih-Inggris yang selalu menganggap diri mereka sebagai bangsa paling sejati, sesungguhnya tanpa disadari sama-sama berada di bawah tekanan dari keprihatinan geopolitik yang sedang berlangsung di dunia Muslim, serta perpecahan yang semakin meluas.
Rasisme Institusional
Menurut Tahir Abbas, persimpangan simbiosis antara Islamofobia dan radikalisasi telah dan akan terus semakin intensif dan meluas. Ia mempersembahkan bukunya sebagai peringatan kepada dunia yang telah menghasilkan, meningkatkan dan menyebarluaskan kejahatan rasial, pelembagaan Islamofobia, dan normalisasi perang dan konflik dengan memperkuat rasisme institusional.
Apa rasisme institusional ini? Camara Phyllis Jones dalam bukunya “Confronting Institutionalized Racism” (2002) mendefinisikan rasisme yang dilembagakan sebagai struktur, kebijakan, praktik, dan norma yang menghasilkan perbedaan akses ke barang, jasa, dan peluang masyarakat berdasarkan ras. Rasisme yang dilembagakan ini bersifat normatif, kadang-kadang dilegalkan dan sering bermanifestasi sebagai kerugian yang diwariskan dan yang sama sekali dipandang sebagai tidak perlu diaudit sama sekali. Ini sungguh-sungguh bersifat struktural, dan bahkan untuk sebagiannya, di berbagai masyarakat dunia, terlebih di negara-negara bekas jajahan, sudah terserap ke dalam lembaga adat, praktik, dan hukum yang dinarasikan sebagai suprematif dan adil, dan karena itu pula selalu dipandang tidak perlu ada yang bisa diidentifikasi pelakunya.
Rasisme yang dilembagakan ini bukan saja sebagai kelambanan dalam menghadapi kebutuhan, yang memanifestasikan dirinya baik dalam kondisi material maupun dalam akses ke kekuasaan. Tetapi juga menjadi monument raksasa kemunafikan dunia yang selalu hadir dalam standar ganda positivisme linear.
Di berbagai negara Barat manifestasinya kerap muncul dalam perbedaan akses ke pendidikan berkualitas, perumahan yang layak, pekerjaan yang menguntungkan, fasilitas medis yang sesuai, dan lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara-negara bekas jajahan selalu tampil dalam pemaksaan nilai. Penghancuran nilai-nilai mereka yang berlangsung berabad-abad terus dilakukan untuk tujuan yang sama, merendahkan mereka, menjadikannya sebagai objek eksploitasi keuntungan material, sambil berteriak kesetaraan dan keadilan dunia.
Negara-negara bekas jajahan dipandang wajib tunduk kepada dirijen Barat karena mereka barbar, primitif, tradisional atau yang diperhalus dengan istilah negara dunia ketiga atau negara terbelakang, negara sedang berkembang dan sebagainya. Demokrasi adalah instrumennya, dan dalam tatanan dunia yang semakin tidak adil itu sekehendak hati negara-negara Barat terus mengambil keuntungan apa saja yang dia perlukan atas nama demokratisasi.
Richard Delgado dalam Jean Stefancic (Critical Race Theory: An Annotated Bibliography, 1993) menegaskan bahwa nasionalisme atau separatisme budaya non-kulit putih telah lama dipraktikkan dalam bentuk eksplorasi pandangan yang lebih radikal yang mendukung pemisahan dan reparasi sebagai bentuk bantuan asing (termasuk nasionalisme kulit hitam). Dari sudut pandang dan kebijakan itu kulit putih merasa memiliki hukum universal yang mengukuhkan hak istimewanya untuk gagasan sesat tentang berbagai keuntungan sosial, manfaat, dan kesopanan yang datang dengan menjadi anggota ras dominan (kulit putih).
Karena itu tepat penjelasan Cheryl I. Harris dan Gloria Ladson-Billings (1988) yang menggambarkan gagasan tentang putih sebagai property. Kulit putih, di Amerika, katanya, adalah properti utama yang hanya dapat dimiliki oleh orang kulit putih, amat berharga seperti property. Status bawaan istimewa kulit putih yang dimiliki orang Amerika, lanjut para penulis ini, mirip dengan memiliki sebidang properti, dalam hal memberikan hak istimewa kepada pemilik bahwa penyewa (kulit berwarna) tidak akan perlu diberikan. Fungsi properti keputihan, yaitu, hak disposisi; hak untuk menggunakan dan menikmati, reputasi, dan status properti; dan hak mutlak atas properti – membuat impian Amerika lebih mungkin dan dapat dicapai oleh orang kulit putih. Selama masa-masa penjajahan di dunia non kulit putih, perasaan dan klaim keunggulan ras itu disepakati secara internasional melalui lembaga yang mereka bangun sendiri. Penjajahan adalah hak bagi mereka terlepas semenderita apa orang terjajah itu.
Bagaimana semua kebobrokan sistem dunia yang dipandang sebagai puncak peradaban itu dipandang menjadi seakan conditio sine qua non? Internalisasi berlangsung smat gencar. Karen Pyke (2010) mendokumentasikan elemen teoritis dari rasisme yang diinternalisasi atau penindasan rasial yang diinternalisasi. Para korban rasisme mulai percaya pada ideologi bahwa mereka lebih rendah daripada budaya kulit putih dan kulit putih, yang lebih unggul. Internalisasi rasisme bukan karena kelemahan, ketidaktahuan, inferioritas, cacat psikologis, mudah tertipu, atau kekurangan lain dari mereka yang tertindas. Sebaliknya, bagaimana otoritas dan kekuasaan di semua aspek masyarakat berkontribusi pada perasaan ketidaksetaraan.
The Runnymede Trust adalah sebuah wadah pemikir Inggris yang didirikan pada tahun 1968 untuk melawan propaganda rasis dan mengembangkan program untuk masyarakat yang semakin beragam. Sembari menantang rasisme The Runnymede Trust membantu mempengaruhi undang-undang anti-rasis, dan untuk mempromosikan Inggris yang multietnis yang kohesif.
Laporan Lembaga ini menyebut Islamofobia sebagai “cara singkat untuk merujuk pada ketakutan atau kebencian terhadap Islam yang oleh karena itu, rasa takut atau tidak suka pada semua atau sebagian besar Muslim” dianggap sesuatu yang seharusnya dan menghasilkan ‘pandangan tertutup’ tentang Islam sebagai musuh ideologis yang perlu diperangi dan didisiplinkan. (Runnymede Trust, 1997).
Laporan Runnymede Trust belakangan merangsang sejumlah intelektual lebih jauh untuk mendefinisikan Islamofobia dan menyebutnya sebagai intoleransi terhadap kepercayaan agama dan budaya Muslim (Esposito & Mogahed, 2011).
Bagi Naved Bakali, fakta-fakta tak terbantahkan tentang rasisme ini telah mengembangkan tantangan sehingga antara lain telah melahirkan teori ras kritis yang pada awalnya dikembangkan melalui bidang hukum. Semakin banyak akademisi dari bidang lain yang menggunakan perspektif teoretis ini dalam menganalisis ketidakadilan sosial dan ras di berbagai bidang yang mengacu pada penolakan atas penghilangan narasi orang kulit berwarna karena mereka menantang otoritas dan kekuasaan budaya yang dominan.
Naved Bakali juga menunjukkan kemanfaatan teori ras kritis sebagai kerangka kerja mungkin menjadi tugas yang menakutkan mengingat keberadaan skrip utama yang tertanam dengan gagasan rasis tentang supremasi kulit putih dan rasisme terhadap Muslim dalam konteks hiper-nasionalistik. Dengan tegas Naved Bakali berkata bahwa Muslim telah dianggap sebagai “The Other” yang mengancam sejak abad ke-7, ketika iman mulai tumbuh dan menyebar ke Kekaisaran Bizantium melalui ekspansionisme militeristik. Sebagian besar, Islam dikenal in absentia di sebagian besar Eropa Barat. Hanya pandangan sekilas tentang Muslim dan budaya Muslim yang dialami di ‘Abad Kegelapan’ masyarakat Eropa Barat melalui Perang Salib.
Ketika kisah-kisah tentang “The Other” Muslim antitesis yang eksotis, bejat, dan terlalu seksual, proses ‘membudayakannya’ mengambil bentuk proyek kolonial. Ini menandai perubahan penting dalam hubungan Muslim / Barat. Selama periode ini, pandangan orientalis tentang Muslim dan budaya Muslim mendominasi proyek peradaban. Mitos-mitos orientalis yang berkepanjangan membantu meletakkan dasar bagi bentuk-bentuk bias dan diskriminasi anti-Muslim yang lebih kontemporer, yang oleh buku ini disebut sebagai Islamofobia.
Islamofobia adalah sebuah ideologi, yang menelusuri silsilahnya ke interaksi awal antara budaya Muslim dan Barat, namun telah dipengaruhi selama berabad-abad oleh berbagai aliran pemikiran dan ideologi yang memandang Muslim sebagai “The Other”. Islamofobia ada dalam berbagai bidang (sosial, ekonomi, politik, dll.) dan merupakan hasil dari hubungan kekuasaan yang implisit dan eksplisit. Ini termasuk kebijakan dan undang-undang politik yang diskriminatif, wacana media yang bias, serta pertemuan dengan anggota budaya mayoritas non-Muslim yang mencoba untuk menegaskan dominasi budaya mereka.
Islamofobia dapat muncul dalam bentuk halus melalui media dan wacana politik, dan juga dapat mengambil manifestasi yang lebih menyimpang seperti ujaran kebencian, kejahatan kebencian, dan praktik diskriminatif hukum dan pelecehan lainnya (Naved Bakali, 2016). (*)
Penulis adalah sosiolog FISIP UMSU
Sumber: ‘nBASIS