Sekarang ini, wawasan global begitu mudah diperoleh oleh manusia di belahan dunia mana pun. Melalui internet, dalam hitungan detik berbagai hal yang terjadi di seluruh dunia dapat kita ketahui. Pada teknologi sebelumnya, televisi dan radio juga secara signifikan telah membantu ketersediaan informasi-informasi internasional.
Namun, tahukah Anda pada masa yang lebih lampau lagi ‘Aisyiyah memang telah terwujud sebagai organisasi perempuan berkemajuan yang tidak hanya memiliki wawasan lokal, regional, dan nasional, melainkan juga telah memiliki wawasan internasional.
Majalah Suara ‘Aisyiyah memiliki bukti-bukti historis mengenai wawasan dan kiprah warga ‘Aisyiyah di luar negeri. Kemajuan ‘Aisyiyah pada masa lampau tersebut tentu sangat sulit dibayangkan di era sekarang. Bagaimana tidak. Ketika para perempuan Indonesia masih banyak yang buta huruf, ‘Aisyiyah telah membahas persoalan internasional yang melintas batas, melampaui zamannya.

Gerakan dan Peristiwa Luar Negeri
Majalah Suara ‘Aisyiyah melalui rubrik Pekabaran Sana-Sini edisi No. 12 Th VII Sya’ban 1351/Desember 1932 halaman 332-333 memaparkan gerakan dan pemikiran perempuan di Mesir dan Jepang. Nadlah Alhakim, seorang aktivis pergerakan perempuan di Mesir, dikatakan telah mengemukakan adanya tiga pergerakan perempuan Mesir yang berpengaruh, yaitu (i) Perhimpunan Perempuan Wafd yang berpolitik dan mencari kemerdekaan; (ii) Perhimpunan Persatuan Perempuan yang ingin mencapai hak-hak kaum perempuan dan berusaha mendirikan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, dan sebagainya bagi anak perempuan; dan (iii) Perhimpunan Pembela Kaum Buruh Perempuan yang bertempat di Alexandria.
Selain itu, dipaparkan pula sebuah gerakan bernama Family Life yang dipimpin oleh Sitti Nadlah. Gerakan ini bertujuan memperbaiki pergaulan hidup dan memajukan lembaga kebangsaan. Dalam tulisan itu juga digambarkan kaum perempuan di Mesir telah sangat maju. Perempuan-perempuan di sana banyak yang tamat sekolah menengah, sekolah tinggi, bahkan banyak pula yang melanjutkan pendidikan di Eropa.
Namun, Suara ‘Aisyiyah juga mempertanyakan belum adanya informasi mengenai perkumpulan perempuan yang konsisten memajukan agama Islam dan mengajarkan amal-amal kebajikan sebagaimana ‘Aisyiyah.
Di bagian lainnya dikabarkan bahwa kaum muslimin di Jepang telah berkumpul dalam sebuah rapat yang memutuskan untuk membangun perhimpunan Islam dengan tujuan (i) menerbitkan surat kabar di Tokyo yang membahas kepentingan Islam dan kaum muslimin; (ii) menjalin segala buku-buku Islam dan dicetak dalam bahasa Jepang; (iii) berusaha mengumpulkan maklumat tentang kaum muslimin di Jepang serta membela hak-hak mereka dalam hal agama, politik, dan sosial; (iv) mendirikan sekolah Arab; (v) mendirikan sebuah masjid Jami’; (vi) membentuk sebuah komite untuk membuat karangan dan menyiarkannya; dan (vii) menguatkan tali persaudaraan antara muslimin Jepang dengan muslim di seluruh dunia.
Tampaknya Mesir merupakan negara yang inspiratif pada masa lalu. Pada Suara ‘Aisyiyah edisi No. 8 Maret-April 1956/Ramadan 1375 Tahun XXI hlm. 7, Buya HAMKA dalam artikelnya yang berjudul “Tugas Kita Sesudah Pemilihan Umum” juga menguraikan berbagai hal yang dapat dipelajari oleh orang Indonesia dari perbedaan pandangan yang terjadi di Mesir. Cara berpikir kelompok-kelompok di Mesir, para pemikir, penguasa, dan literatur yang digunakan oleh masyarakat Mesir diuraikan oleh HAMKA. Dengan keluasan wawasan yang demikian, dapat dibayangkan tingginya kemampuan intelektual para pembaca Suara ‘Aisyiyah yang tidak lain adalah warga ‘Aisyiyah.
Keikutsertaan dalam Konferensi Islam Afrika-Asia
Pada Suara ‘Aisyiyah, November/Desember 1965, Pusat Pimpinan ‘Aisyiyah (ditulis demikian-red), yaitu Siti Baroroh Tamimy (belakang hari disebut dengan Siti Baroroh Baried) memaparkan keikutsertaannya dalam Konferensi Islam Afrika-Asia (KIAA) yang diselenggarakan di Gedung MPRS, Bandung pada 6-13 Maret 1965.
Konferensi tersebut diikuti oleh 35 negara Afrika-Asia serta negara-negara lain sebagai peninjau. Sifat konferensi itu non-govermental, artinya peserta-pesertanya tidak mewakili pemerintahan masing-masing, melainkan mewakili partai politik Islam maupun organisasi massa Islam.
Delegasi Indonesia terdiri atas wakil-wakil Muhammadiyah, Jami’atul Washliyah, Gasbiindo (ditulis demikian-red), Perti, PSII, dan Partai NU. Keenamnya sekaligus menjadi penyelenggara KIAA. Delegasi Muhammadiyah berjumlah 7 orang, yaitu 5 laki-laki dan 2 perempuan, di antaranya adalah Baroroh.
Menurut Baroroh, pada saat membuka KIAA Presiden Sukarno menekankan bahwa umat Islam harus bangkit, bersatu, dan menyusun kekuatan untuk menghadapi imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Para peserta KIAA sangat terpesona dengan pidato presiden tersebut sehingga secara aklamasi memberi gelar kepada presiden dengan gelar Pahlawan Islam dan Kemerdekaan.
Baroroh menuliskan bahwa 18 delegasi perempuan yang hadir pada konferensi itu tergabung dalam Komisi V yang berasal dari Nigeria, Irak, India, Jepang, RRT (tertulis demikian-red), dan Indonesia. Menurutnya, tingkat kemajuan wanita Indonesia tidak kalah dengan negara-negara di Afrika dan Asia, bahkan dalam beberapa bidang lebih maju, misalnya dalam kegiatan sosial, organisasi, dan pendidikan. Para delegasi tersebut sangat kagum akan kemajuan perempuan-perempuan Indonesia, bahkan dalam lapangan politik pun perempuan Indonesia turut mengambil bagian. (*)
Sumber: suaraaisyiyah.id
Artikel ini diterbitkan ulang untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2022