TAJDID.ID~Tuban || Menyikapi Surat Edaran (SE) Menteri Agana (Menag) Nomor 5 Tahun 2022 mengenai pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala, ketua LBHMu Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tuban, Nang Engki Anom Suseno perlu menjelaskan agar masyarakat khususnya umat Islam tidak salah paham.
Kata Engki, pada hakikatnya Surat Edaran adalah perwujudan perintah ataupun penjelasan tentang sesuatu hal yang tidak mempunyai kekuatan hukum ataupun memiliki sanksi bagi yang tidak mentaatinya. Lebih lanjut Surat Edaran merupakan sebuah perintah seorang pejabat tertentu kepada bawahannya.
Ia menjelaskan, dalam (hierarki) tata urutan peraturan perundang-undangan, bahwa sebuah Surat Edaran bukan bagian dari peraturan perundang-undangan. Sebagaimana tersebut dan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lebih lanjut Engki menjelaskan, dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 menyebutkan bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana di maksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang di tetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, Atau komisi yang setingkat yang di bentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
“Jika kita melihat ketentuan tersebut di atas, bahwa Surat Edaran Kementrian Agama Republik Indonesia tentang Pengeras Suara tetap diakui keberadaannya oleh Undang-Undang, akan tetapi Surat Edaran tersebut bukan merupakan atau termasuk sebuah peraturan perundang-undangan, dikarenakan Surat Edaran tersebut tidak memuat norma yang sesuai dengan syarat dan ketentuan yang ditentukan dan diatur dalam peraturan perundang-undangan,”jelasnya.
Mencermati hakikat keberadaan dari masjid dan musholla, adalah bukan merupakan bagian dari struktur Kementerian Agama Republik Indonesia. Sehingga dengan kata lain Surat Edaran tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat kepada seluruh pengurus masjid dan musholla di Negara Republik Indonesia. Artinya adanya sebuah Surat Edaran pada hakikatnya hanya dapat diberlakukan kedalam atau hanya berlaku bagi instansi yang mengeluarkannya sesuai dengan struktur yang ada.
“Dengan kata lain keberadaan Surat Edaran yang di keluarkan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia tidak perlu dirisaukan oleh umat islam di Negara Republik Indonesia sehingga kegaduhan yang terjadi belakangan ini tidak semakin membesar. Karena Surat Edaran tersebut hanya bersifat himbauan. Mau di ikuti boleh, tidak di ikuti pun tidak menjadi masalah,” tandasnya. (*)
Kontributor: Iwan Abdul Gani