TAJDID.ID~Jakarta || Kasus korupsi Kepala Desa Citemu, Cirebon yang menyeret dua tersangka, Kades Supriyadi dan Kepala Urusan Keuangan Nurhayati, ramai jadi perbincangan di media sosial belakangan ini.
Diketahui, kasus dugaan korupsi dana desa ini sudah melalui proses penyelidikan dan penyidikan oleh Polres Cirebon. Bahkan, setelah serangkaian penyidikan oleh Jaksa Kejaksaan Negeri Cirebon dinyatakan lengkap .
Kemudian kasus ini menjadi viral di media sosial dan menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat, setelah tersangka Nurhayati mengunggah pengakuan bahwa dirinyalah yang melaporkan Kades, sehingga merasa menjadi korban.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Azmi Syahputra mengatakan dari konstruksi hukum kasus ini sudah menuju berada di tangan Jaksa, karena sebelumnya atas arahan Jaksa pemeriksa Nurhayati ditarik menjadi tersangka.
“Kuat dugaan ada kontruksi peristiwa melawan hukum yang merugikan keuangan negara yang melibatkan Nurhayati sebagai Kaur Keuangan Desa yang jadi bawahan Kades, keadaan ini yang mungkin dilihat jaksa,” ujar Azmi, Kamis (24/2).
Belakangan memang terungkap bahwa yang melaporkan kasus ini ke Polres Cirebon adalah BPD Desa Citemu, bukan Nurhayati yang kini jadi tersangka.
Azmi pun menyebut dari pasal yang disangkakan, terlihat konstruksi hukum petunjuk jaksa, Kades Suharyadi tidak sendirian.
“Ada penerapan pasal 55 KUHP, patut diduga ada pelaku turut serta. Dan ini lazim dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang pembuktiannya harus diuji” ujar Azmi.
Soal pembelaan Nurhayati, Azmi menyarankan baiknya tidak terbatas hanya disampaikan ke media sosial, namun harus pula dengan cara langkah hukum, misalnya seperti yang disampaikan pengacara yang akan menempuh praperadilan.
“Penetapan tersangka Nurhayati memang menimbulkan pro kontra dimana seolah penegakan hukum pidana bisa menampakkan dua wajah berbeda,” ujar Azmi.
“Dalam satu sisi, dianggap telah menegakkan hukum bila penegak hukum dapat membuktikan kesalahan tersangka dan tentunya memiliki alat bukti yang cukup dan sah. Namun di sisi lain dapat dianggap sebagai kesewenangan dan tidak adil,” imbuhnya.
Oleh karenanya, kata Azmi, untuk ini hukum memberi ruang dengan adanya wadah lembaga pengujian, yakni untuk menguji apakah penetapan Nurhayati sebagai tersangka sah atau tidak, ini dapat diuji melalui praperadilan.
“Perlu diingat bahwa dalam kasus ini polisi telah melakukan fungsinya sebagaimana diatur KUHAP, namun penuntut umum berpendapat ada pihak lain yang harus diperiksa dalam hal ini atas diri Nurhayati,” ujar Azmi.
Maka mengacu pada pasal 110 KUHAP ayat 3 bila ada petunjuk jaksa pada penyidik harus dilengkapi dan karenanya penyidik wajib segera melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
“Jadi tindakan kepolisian disini jelas clear melakukan sebagaimana petunjuk jaksa,” ujar Azmi.
Karenanya, agar ada kepastian hukum, Azmi mendorong pihak yang merasa hak hukumnya dirugikan untuk sidang praperadilan, karena praperadilan merupakan satu pranata hukum untuk menguji, memeriksa dan memutus bila ada penyimpangan dalam proses penyidikan.
Menurut alumni Fakultas Hukum UMSU ini, praperadilan salah satu mekanisme komplain sekaligus kontrol terhadap kemungkinan tindakan upaya paksa atau tindakan sewenang-wenang aparatur dalam melakukan penangkapan dan penggeledahan termasuk penetapan tersangka, sehingga kemudian akan terlihat faktanya dan benang merah proseduralnya di sidang praperadilan.
“Sidang Praperadilan berfungsi juga sebagai upaya mengawasi proses penegakan hukum sehingga kepada yang kepentingan hak hukumnya dilanggar dapat mengajukan uji legalitas penetapannya sebagai tersangka dengan menguji apakah bukti-bukti sesuai aturan dan proses penyidikannya sesuai ketentuan,” kata Azmi.
“Melalui gugatan permohonan praperadilan dengan menerapkan asas hukum acara pidana terlihat perlindungan hak konstitusional warga sekaligus menunjukkan bekerjanya atau tidaknya sistem peradilan pidana,” tambah Azmi.
Menurut Azmi, tujuan dari sidang Praperadilan itu untuk melindungi kepentingan hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. (*)