Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Ada yang menggelitik untuk dicermati terkait pemberitaan media tentang kasus “Rumah Kerangkeng Langkat” yang belakangan ramai jadi perbincangan publik.
Mohon maaf. Di sini banyak awak media bahkan multi fase (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, Orde SBY dan Orde Jokowi). Saya tak bermaksud menggurui. Saya ingin menjelaskan begini:
Kita bayangkan dulu bahwa fakta itu satu. Tunggal (ada orang di dalam kerangkeng di rumah Terbit Rencana). Tentunya, persepsi membuatnya bisa berbeda jauh antara pemahaman satu dan lain orang. Persepsi itu terbentuk, tidak dengan sendirinya. Ia hadir karena interest.
Menurut hemat penulis, kehadiran media justru untuk menyelesaikan itu, yakni mengontrol agar interpretasi tidak keliru dan publik tidak sesat, tidak menjadi korban.
Kemudian, Migran Care dan Organisasi buruh dapat melihatnya dari kemungkinan perdagangan manusia (human trafficking) dan perbudakan (slavery). Silakan saja.
Ia harus mengumpulkan data untuk itu. Kepolisian bisa melihatnya dari potensi pidana, karena mungkin dikategorikan “goes too far” melanggar regulasi (mendirikan lembaga rehabilitasi korban narkoba tanpa izin). Silakan, Pak Polisi.
Sejatinya jurnalis berada di atas itu semua untuk dapat memberitakan apa adanya, apa adanya, apa adanya, bukan menggiring ke opini tertentu. Jurnalis tahu rekaman yang ada atau yang dibuatnya sendiri (foto, audio, video) adalah bahan-bahan netral.
Tetapi tak dapat dipungkiri, ada godaan-godaan yang secara manusia bisa membuatnya berkepemihakan yang dengan sendirinya mengingkari code of conduct. Framing adalah hasilnya, lazimnya dilakukan dengan menyorot fakta kecil mengalahkan fakta besar dan mengabaikan fakta terbesar dan menelantarkan keseluruhan.
Saya ingin ilustrasikan seperti ini. Saya berada di dalam sebuah seminar berisi 100 orang lebih. Lalu seorang peserta ada yang mengantuk berat dan akhirnya tertidur pulas. Melihat hal itu, saya langsung memofoto, kemudian saya masukkan ke laptop dan segera saya tayangkan di layar lebar.
Saya beri judul “Ceramah Pemberdayaan Ormas yang disampaikan oleh Shohibul Anshor Siregar pada forum ini tidak bermutu. Pesertanya tertidur”.
Lantas, melihat judul ceramah saya semua orang tertawa dan karena riuh itu terbangunlah “korban pulas”. Ia minta maaf.
Jika bahan itu langsung saya kirim dengan foto ke sebuah media online, viral senusatara. Ada fakta yang direduksi. Dikurangi. Diterjemahkan dari satu sisi (fakta seorang bobok pulas) sedangkan lebih dari 99 orang lainnya berbeda dengan fakta yang dicuatkan itu.
Begitulah. Saya pernah bilang kepada Abdillah. Bapak korban politik. Jika Damkar yang jadi masalah, seyogyanya bukan bapak, paling tidak Mendagrilah dulu ditangkap KPK, baru Gubernur dan itu massif se tanah air. Karena menurut pemahaman saya bapak dalam posisi tak mungkin menolak damkar itu.
Saya bicara dengan Rahudman, kasusnya setua 15 tahun (kasus usang) dijadikan masalah. Masuk dia.
Saya juga bertemu Syamsul Arifin, saya bilang bukan kasus kegubernuran yang membuatnya tersandera di KPK. Tetapi anehnya, berita selalu menyebut Gubernur Sumut, padahal kasusnya adalah ketika masih menjadi Bupati di Langkat.
Saya bilang ke Eldin, bah kasus seperti itu jadi masalah nasional dan Anda dibilang OTT? Bah.
Saya lihat kasus Gatot. Sangkin kecilnya kasus itu malah dirappel beberapa tahun. Jika kasus seperti Gatot itu dikumpul se tanah air sepanjang masa, maka semua pejabat potensil masuk ke ruang kekuasaan hukum KPK.
Saya buat artikel tentang Syahrial. Seorang tersangka dan kemudian dipecat dari KPK dan dihukum. Petugas lembaga superbody yang jahat itulah yang membuatnya menjadi tersangka. Intinya ia harus dijelaskan dalam posisi mana: “diperas atau menyogok.”
Semua fenomena itu menjadi bahan untuk konstruksi bahwa Sumut adalah raja korupsi nasional. Dan saya ingi tegaskan, sesat kesimpulan itu. Sangat sesat.
Kami di Tanah Batak beratus tahun distigmatisasi sebagai pemakan orang (kanibal). Anda tahu siapa yang bekerja sistematis untuk itu. Padahal semua suku di dunia ini memiliki tradisi yang mirip sebelum ajaran Tauhid dikenal dan peradaban hukum belum berkembang. Kanibal itu sesuatu yang erat kaitannya dengan logika hukum pada zamannya dan social order secara luas.
Nelson Mandela. Anda pasti kenal dia. Dua puluh lima tahun dipenjara. Siapa memenjarakan? Apartheid. Di belakangnya adalah semua negara superpower yang membuat seluruh Afrika hingga kini menjadi budak perasan (eksploitasi) sejak Perjanjian Tordesillas (1491).
Tetapi belakangan ia, Nelson Mandela, menjadi penerima hadiah nobel.
Media Barat selalu mengutip sesuatu dari Nelson Mandela “bukan dendam jalan penyelesaian konflik”. Artinya Barat ingin terus menjajah Afrika dengan “damai” menurut versi dia dan itu tak boleh diributi.
Cover both sides adalah prinsip yang diketahui oleh semua jurnalis yang bekerja di bawah naungan organisasi jurnalis mana pun (PWI, AJI, dll) dan umumnya juga netizen. Tetapi semua mereka tahu keniscayaan peran capital.
Ada penelitian yang sudah agak lama, tetapi masih relevan tentang siapa pemilik media Indonesia. Di situ ada harapan buat saya kepada media online non arusutama. Bisakah memberi alternatif sajian berita objektif?
Dalam kasus rumah kerangkeng, saya hingga detik ini berusaha mengumpul data untuk bisa berpendirian atas dasar prinsif cover both sides. Terimakasih. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)