TAJDID.ID~Jakarta || Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra menilai putusan Majelis Hakim dalam kasus Heru Hidayat, terdakwa korupsi Asabri adalah fakta empirik penegakan hukum yang yang tidak berkualitas.
Menurut Azmi, hakim keliru dalam menerapkan hukum dan tidak berusaha keras melakukan terobosan hukum, padahal pertimbangan hukum hakim jelas telah memuat fakta hukum, keadaan dan alat pembuktian yang terungkap di persidangan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa terbukti.
“Memestinya perbuatan terdakwa menjadi sebuah keadaan yang memberatkan hukuman, namun anehnya malah yang ada kok amar putusan pemidanaannya yang nihil,” ujar Azmi, Rabu (19/1/2022).
Azmi melihat, hakim membatasi jangkauan hukum dan menyempitkan pemaknaan hukum, tidak menyentuh dampak bahaya korupsi, dan semestinya melihat korupsi yang dilakukan terdakwa sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi sebagai tindak pidana khusus yang berbeda penerapannya dengan pidana umum.
Apalagi, lanjut Azmi, mengingat keadaan korupsi di Indonesia sudah menjadi keadaan yang darurat, harus diberantas sehingga semestinya dalam keadaan yang darurat memperbolehkan hakim apa yang tadinya tidak diperkenankan oleh hukum ,dalam hal ini menyimpangi Pasal 67 KUHP ,guna menegakkan hukum itu sendiri dan rasa keadilan.
“Termasuk dalam hukum pidana akan melihat unsur kesalahan berdasarkan kasus per kasus (animus and se one just ducit), jadi disini semestinya ada ruang dan dasar hukum bagi hakim untuk melakukan terobosan hukum,” kata Azmi.
Akibatnya sanksi penjatuhan pidana pada pelaku jadi hampa. Padahal menurut Azmi perbuatan terdakwa dinyatakan Majelis Hakim terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang
“Namun dihukum nihil. Ini jelas penyimpangan. Sungguh putusan Hakim dalam kasus Heru Hidayat berpotensi merusak masa depan penegakan hukum pidana,” sebutnya.
Selain itu, Azmi menilai hakim tidak menempatkan secara lebih besar kepentingan negara dan masyarakat dalam hal ini , kerugian uang negara puluhan triliun rupiah, yang semestinya perbuatan terdakwa dapat dijadikan dasar pemberatan hukuman dan memang layak dituntut dan dihukum mati.
Azmi mengatakan, dampak putusan hakim dari kasus ini membuat masyarakat semakin meragukan penegakan hukum, karena semestinya sidang peradilan pidana cendrung menekankan pada nilai -nilai kebenaran dan keadilan.
“Harusnya aparat penegak hukum bukan saja sekedar melaksanakan tugas, namun sejatinya mampu menegakkan hukum dan keadilan,” tuksnya.
Menurut Azmi, praktek hukum seperti membuat putusan hakim pidana yang nihil ini semakin menambah catatan dan menunjukkan tidak mudah untuk mencapai kesempurnaan dalam merumuskan cita-cita pembangunan hukum nasional, khususnya terkait penanggulangan korupsi, karena masih saja ada bagian dari penegak hukum yang juga belum komitmen dan konsisten dalam memberantas korupsi.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memvonis nihil terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat.
Heru Hidayat Divonis Mati Vonis nihil, artinya tidak ada penambahan hukuman pidana penjara, lantaran hukuman yang diterima oleh terdakwa dalam kasus sebelumnya jika diakumulasi sudah mencapai batas angka maksimal yang diperbolehkan oleh ketentuan undang-undang.
Heru Hidayat dinilai terbukti terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asabri (Persero) yang merugikan negara Rp22,7 triliun.
“Terbuki secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor dan TPPU sebagaimana dalam dakwaan primer, menjatuhkan pidana dengan pidana nihil,” demikian kata majelis hakim PN Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (18/1/2022).
Kendati demikian hakim tetap menjatuhkan hukuman terhadap Heru Hidayat berupa pidana tambahan senilai Rp12,6 triliun.
“Menjatuhkan pidana tambaban untuk bayar uang pengganti Rp12,6 triliun,” ujarnya.
Hukuman Heru Hidayat sebenarnya lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa. Dalam sidang tuntutan beberapa waktu lalu jaksa meminta hakim menjatuhkan hukuman mati. Heru adalah satu dari tujuh terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri.
Heru dinilai terbukti melakukan perbuatan dalam dua dakwaan, yaitu dakwaan pertama Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ada delapan orang terdakwa dalam perkara ini, yaitu Direktur Utama (Dirut) PT Asabri Maret 2016-Juli 2020 Letjen (Purn) Sonny Widjaja, Dirut PT Asabri 2012-Maret 2016 Mayjen (Purn) Adam Rachmat Damiri, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri Juli 2014-Agustus 2019 Hari Setianto. Kemudian Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) Lukman Purnomosidi, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo, Dirut PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro, dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.(*)