Syahdan. Sewaktu Khalifah Ali bin Abi Thalib sedang dalam perjalanan menuju Kufah, beliau melewati sebuah kota bernama Anbar. Mengetahui Khalifah melewati kota mereka, para penduduk kota itu — mulai dari pejabat, tokoh masyarakat hingga masyarakat awam — merasa begitu gembira. Mereka begitu antusias menyambut Khalifah.
Menyaksikan kelakuan warga kota tersebut, Khalifah pun berkata: “Mengapa kalian berlarian dan bersorak-sorai? Ada apa gerangan?”
“Ini bentuk rasa hormat yang kami persembahkan kepada para pemimpin kami. Dan ini sebagian dari tradisi kami,” ujar warga kota.
Lantas Khalifah Ali bin Abi Thalib pun menjawab:
“Untuk menghormati seseorang tak mestilah berlebihan seperti itu. Saya khawatir, justru kebiasaan ini bisa membuat kalian menderita di dunia dan membawa kemalangan di hari kemudian,” ujar Ali.
“Hindarilah selalu bentuk praktik semacam ini yang merendahkan dan mempermalukan kalian sendiri. Lagi pula, apa keuntungan dari kebiasaan ini bagi orang-orang yang kalian hormati itu?,” imbuhnya.
Lebih lanjut Khalifah Ali bin Abi Thalib menyampaikan nasehat, bahwa sesungguhnya bukan tidak boleh seseorang memuji atau dipuji, asalkan dilakukan secara bijaksana, proporsional dan tidak berlebihan.
“Memuji seseorang lebih daripada yang ia berhak menerimanya sama saja menjilatnya. Tetapi melalaikan pujian bagi orang yang berhak menerimanya menunjukkan kedengkian” ujar Ali bin Abi Thalib.
***
Kisah di atas mengingat kaum muslimin, betapa budaya pujian yang cenderung berlebihan tersebut dapat menjadi bagian dari bencana lidah (min afat al-lisan) yang sangat berbahaya.
Tentang bahaya budaya memuji ini, Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Berhati-hatilah dalam memuji (menyanjung-nyanjung), sesungguhnya itu adalah penyembelihan.” (HR Bukhari).
Dari Abu Bakrah, ia menceritakan bahwa ada seorang pria yang disebutkan di hadapan Rasulullah SAW, lalu seorang hadirin memuji-muji orang tersebut.
Menyaksikan itu kemudian Rasulullah SAW bersabda:
“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulangkali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, ”’Saya kira si fulan demikian kondisinya.” -Jika dia menganggapnya demikian-. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah SWT dan janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah SWT.” (HR. Bukhari)
Dalam buku Ihya ‘Ulum al-Din, Imam Ghazali menyebutkan enam bahaya (keburukan) yang mungkin timbul dari budaya memuji atau menyanjung. Diungkapkannya, empat keburukan kembali kepada orang yang memberikan pujian, dan dua keburukan lainnya kembali kepada orang yang dipuji.
Bagi pihak yang memuji, keburukan-keburukan itu berisi beberapa kemungkinan. Pertama, ia dapat melakukakan pujian secara berlebihan sehingga ia terjerumus dalam dusta. Kedua, ia memuji dengan berpura-pura menunjukkan rasa cinta dan simpati yang tinggi padahal sesungguhnya dalam hatinya tidak.
Di sini, ia berbuat hipokrit dan hanya “mencari muka” atau “menjilat”. Ketiga, ia menyatakan sesuatu yang tidak didukung oleh fakta. Ia hanya membual dan bohong belaka. Keempat, ia telah membuat senang orang yang dipuji padahal ia orang jahat (fasik).
“Orang jahat jangan dipuji biar senang, tetapi harus dikritik biar introspeksi,” tegas Imam al~Ghazali.
Sedangkan bagi pihak yang dipuji terdapat dua keburukan yang bisa timbul. Pertama, ia bisa sombong (kibr) dan merasa besar sendiri (‘ujub). Keduanya, kibr dan ‘ujub merupakan penyakit hati yang mematikan.
Kedua, ia bisa lupa diri dan lengah karena mabuk pujian. Menurut Ghazali, orang yang merasa besar dan hebat. Dan bisa-bisa karena melulu dipuji ia akan terlena dan “mabuk”. Akhirnya orang itu pun merasa ketagihan atau kecanduan menerima sanjungan.
Al~Ghazali menegaskan, pujian boleh dilakukan asalkan dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Bahkan, terkadang pujian itu diperlukan. Rasulullah SAW pernah memuji Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan sahabat-sahabat beliau yang lain. Namun, pujian beliau dilakukan dengan jujur dan penuh kearifan. Beliau juga sadar betul bahwa pujiannya tidak akan menjadikan para sahabatnya itu sombong.
Agar tidak “mabuk” karena pujian, seseorang perlu mengenali dirinya sendiri. Ia tentu lebih tahu dirinya sendiri ketimbang orang lain yang memuji. Dengan begitu, ia tidak akan lengah, karena sadar tidak semua pujian yang dialamatkan kepadanya sesuai dengan kenyataan.
Jika demikian, lantas apa yang selayaknya kita perbuat ketika mendapat pujian atau sanjungan?
Mungkin kiat Ali bin Abi Thalib bisa kita jadikan pelajaran. Saat banyak mendapat sanjungan, beliau berkata: ”Aku tidak sebagus yang kamu katakan.” Selanjutnya ia berdo,a, ”Ya Allah, ampunilah aku atas perkataan mereka, dan jangan Engkau siksa aku gara-gara mereka. Berikanlah kepadaku kebaikan dari apa yang mereka sangkakan kepadaku.”
Atau kita bisa juga meneladani Abu Bakar ash~Shiddiq yang jika mendapat pujian ia senantiasa berdo’a:
“Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.
Atinya: Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka. (HR. Baihaqi). (*)