Takluknya Madinat-al-Salam (1258)
Pada tahun 1258, Madinat-al-Salam atau kota Baghdad dikepung oleh pasukan Ilkhanate Mongol dan sekutu mereka, dipimpin oleh Hulagu Khan, komandan Mongol yang terkenal. Pengepungan berlangsung selama 13 hari dari 29 Januari hingga 10 Februari.
Sebagai penguasa terakhir, khalifah Al-Musta’shim Billah dinilai telah gagal untuk mempersiapkan pertahanan kota Baghdad dari ancaman invasi asing. Namun dia tetap percaya bahwa Baghdad tidak dapat jatuh ke tangan pasukan penyerang, karena itu ia menolak untuk menyerah.
Setelah itu, orang-orang Mongol menjarah Bagdad dengan melakukan banyak kekejaman. Hulagu Khan mengeksekusi Khalifah dan membantai penduduk kota, yang kemudian dibiarkan sangat kosong.
Menurut beberapa sumber, kabarnya khalifah dibunuh dengan diinjak-injak. Orang-orang Mongol menggulung khalifah di atas permadani, dan menunggangi kuda mereka di atasnya, karena mereka percaya bahwa bumi akan tersinggung jika disentuh oleh darah bangsawan.
Invasi tersebut dianggap menandai berakhirnya Zaman Keemasan Islam, di mana para khalifah telah memperluas kekuasaan mereka dari Semenanjung Iberia ke Sindh, dan yang juga ditandai dengan banyak pencapaian budaya di berbagai bidang.
Catatan kontemporer menyatakan, bahwa tentara Mongol menjarah dan kemudian menghancurkan masjid, istana, perpustakaan, dan rumah sakit. Buku-buku tak ternilai dari tiga puluh enam perpustakaan umum Baghdad dicabik-cabik, para penjarah menggunakan sampul kulit mereka sebagai sandal. Gedung-gedung megah yang merupakan karya turun-temurun dibakar habis.
Rumah Kebijaksanaan yang terkenal yang berisi dokumen sejarah berharga yang tak terhitung jumlahnya dan buku-buku tentang mata pelajaran mulai dari kedokteran hingga astronomi dibakar habis.
Sejarawan telah mengklaim bahwa Sungai Tigris mengalir merah dari darah para ilmuwan dan filsuf yang terbunuh. James Raven, dalam pengantar bukunya ‘The Resonances of Loss, in Lost Libraries’, mengungkapkan tentang penghancuran buku-buku, kemudian melemparkannya ke Tigris, sehingga air sungai itu menjadi hitam karena tinta.
Warga yang ketakutan berusaha melarikan diri, tetapi dicegat oleh tentara Mongol yang kemudian membantai mereka, hingga tidak satupun yang selamat, bahkan anak-anak.
Martin Sicker menulis bahwa hampir 90.000 orang mungkin telah terbunuh, bahkan perkiraan lain jauh lebih tinggi.
Khalifah Al-Musta’sim ditangkap dan dipaksa untuk menyaksikan warganya dibunuh dan hartanya dijarah. Hulagu Khan harus memindahkan kampnya melawan arah angin kota, karena bau busuk dari kota yang hancur.
Begitulah kronologis hancur dan lenyapnya Madinat as-Salam. Tidak ada jejak nyata yang ditemukan dari Madinat-al-Salam abad kedelapan, dan karena saat ini tidak mungkin untuk melakukan penggalian di Baghdad. Orang hanya bisa berharap bahwa suatu hari bukti material dapat ditemukan.
Namun warisannya tetap hidup melalui karya akademis,lambang negara, aspirasi utopis serta proyek arsitektur yang ambisius. Kota Bulat Baghdad bertahan dalam imajinasi kolektif masyarakat dunia sebagai simbol kekuatan, kemakmuran, dan perdamaian serta kejayaan peradaban Islam di muka bumi ini. (*)
Artikel ini disarikan dari pelbagai sumber.