TAJDID.ID~Medan || Sosiolog FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar menilai organisasi penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia terkesan menyepelekan kekayaan kelembagaan masyarakat.
Pada hal, menurut Shohib, Indonesia sangat kaya dengan kelembagaan masyarakat ini. Bahkan, dikatakannya, di antara kelembagaan itu ada yang lebih tua usianya dari Negara Republik Indonesia seperti Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 dan NU yang berdiri tahun 1926.
“Menyepelekan mereka dalam bentuk tak menganggapnya sebagai piranti penting untuk pelibatan adalah kesalahan besar. Organisasi pemerintah tak hanya terbatas dalam hal integritas, tetapi juga jejaring efektif dan kapasitas yang terbatas dalam berbagai hal. Karena itu pemerintah harus menyadari kelemahnnya dan bersedia berbagi beban dengan para stakeholder negeri ini,” ujar Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini, Senin (26/7).
Dalam penyepelean kekayaan kelembagaan sosial itu, Shohib merasa heran dengan pemerintah yang mengkategorikan penanganan pandemi Covid-19 sebagai darurat militer. Menurutnya, kontroversi yang dipicu oleh keterangan Muhadjir Efendi ini menimbulkan tanda tanya besar,
“Padahal ia (Muhadjir Effendy) terus berharap kesediaan berkorban masyarakat untuk bersolidaritas membantu sesama, orang kaya membantu orang miskin) karena katanya pemerintah sendirian tak sanggup (lagi) memenuhi tanggung jawabnya menyediakan kebutuhan bantuan sosial yang terus bertambah besar,” ungkapnya.
Shohib juga menilai, organisasi penanganan pandemi Covid-19 yang bersifat nasional itu juga kerap tidak konsisten. Misalnya, saat suatu daerah menunjukkan kurva terinfeksi yang menurun, pujian selalu ingin didominasi pusat. Sedangkan jika prahara terjadi, daerah terus disudutkan.
“Padahal daerah sangat terbatas kemampuannya. Tidak memiliki anggaran yang cukup terutama pemasukannya tergerus dan kewenangan untuk menetapkan PPKM saja harus disetujui oleh Pusat,” tegas Shohib.
Bendera Putih
Terkait gerakan pengibaran bendera putih yang belakangan ini marak muncul di tengah-tengah masyarakat, Shohib melihat hal itu sebagai bentuk protes dan jenis ekspresi politik yang masih terbilang sangat sopan dan sangat santun.
“Tetapi itu bisa bergerak lebih jauh, bila tidak disikapi secara bijak,” kata Shohib.
Menurut Shohib, mobilisasi pengibaran bendera putih untuk menunjukkan perasaan kekecewaan terhadap petugas PPKM. Ia menuturkan, misalnya yang terjadi di Medan, itu adalah sebuah ekpresi yang mewakili perasaan yang sama dari banyak orang di seluruh Indonesia.
“Mereka, pengibar bendera putih itu, memang hanya menyebut arogansi petugas PPKM sebagai pokok sorotan. Tetapi percayalah, itu hanya sisi paling mudah dimengerti oleh halayak untuk mengatakan bahwa secara keseluruhan pemerintah telah gagal menangani pandemi Covid-19,” sebutnya.
“Maka sebaiknya berlapangdadalah menerima kritik dari masyarakat atas penanganan pandemi Covid-19. Ramah sajalah kepada mereka, dan bersahabat. Kepada para ahli dan kolumnis yang berusaha memberi nasihat,” pungkas Shohib. (*)