Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Apa yang kita saksikan dari permasalahan yang muncul dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini belum beranjak jauh dari permasalahan serupa pada tahun sebelumnya.
Secara nasional tekad Indonesia untuk melangkah pesat ke era digital masih menunjukkan gejala umum paralelitas. Paralelitas ialah gejala mendua, yang pada satu sisi institusi pemerintahan dan masyarakat kelihatan sudah agak maju terutama dalam tekad (narasi) dan infrastruktur fisik. Tetapi di pihak lain masih sangat terkendala oleh kultur dan kesiapan intelektual dalam beradaptasi. Akibatnya semua serba tak singkron dan hasilnya masih jauh dari harapan.
Perhatikanlah bahwa dimana-mana ada kecenderungan pemerintah untuk menyalahkan orangtua calon siswa (masyarakat) penerima manfaat layanan. Mereka umunya menolak tudingan adanya gangguan pada website dan bersikukuh mengatakan kegagalan mendaftar ke sekolah tujuan hanyalah karena kesalahan pendaftar belaka. Mereka disebut belum mahir menggunakan teknologi aplikasi PPDB online.
Saya tidak berani menuduh setega itu. Karena kecurigaan juga harus ditujukan kepada dimensi lain, yakni potensi ketidakmampuan provider yang dipersiapkan dalam memenuhi standar pelayanan.
Penyelenggara PPDB tidak memiliki perusahaan sendiri setara Telkomsel, yang artinya ia wajib berkonsultasi intensif atas fasilitas yang domainnya tidak ada di bawah otoritasnya. Saya tidak mengatakan bahwa Telkomsel tidak mampu. Buktinya lalulintas transaksi bisnis yang maju pesat saat ini lancar-lancar saja dengan hanya amat sedikit keluhan.
PPDB adalah entry point untuk dunia kependidikan dan karena itu dalam arti seluas-luasnya institusi pemerintah sesungguhnya wajib mengedukasi masyarakat agar akrab dengan sistem PPDB ini, jika benar tuduhan mereka bahwa orang tua calon siswa yang menjadi faktor kendala.
Dari permasalahan PPDB ini sebetulnya tergambar masalah besar proses belajar-mengajar musim covid-19 yang sudah menginjak tahun kedua. Karena itu secara keseluruhan pemerintah wajib mengkaji dan mencarikan solusi atas potensi ancaman besar ke depan karena dunia Pendidikan gagal memberi alternatif proses pembelajaran bagi peserta didik mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Karena itu konsep merdeka belajar Nadiem Makarim terasa menjadi sebuah ide yang tidak terkait dengan substansi masalah. (*)