Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Hari-hari belakangan ini banyak orang berpendapat bahwa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) pilkada mestinya tak lagi dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pendapat ini sangat keliru karena kesalahan memahami putusan MK final dan binding.
PSU adalah amar putusan MK dan itu bersifat final dan binding. Ya, yang final dan binding itu adalah amar putusan MK untuk melaksanakan PSU.
Bagaimana jika hasil PSU tidak bisa diterima oleh pihak mustahak, lalu memutuskan untuk menggugatnya?
Gugatan itu tidak ada bedanya dengan gugatan pertama. Alasannya sama, yakni tidak bisa menerima hasil PSU karena bukti tertentu seperti kecurangan.
Berapa kali batas optimum gugatan ke MK untuk meminta PSU? Berkali-kali dan berkali-kali dan berkali-kali, sepanjang penyelenggara tak mampu menyelenggarakan PSU yang jujur sejujur-jujurnya, adil seadil-adilnya dan berintegritas sehingga terterima oleh para pihak yang mustahak.
Pemungutan suara dalam pemilu dan Pilkada adalah mekanisme untuk memeroleh aspirasi rakyat tanpa pencederaan.
Tidak ada kekuatan lain yang bisa menggantikan suara rakyat itu dan memang karena itulah dilaksanakan pemilu.
Memang benar, ini menjadi catatan penting bahwa di negara demokrasi bisa saja ada pemilu anti demokrasi, Indonesia membuktikannya.
Tentu ada yang mengklaim bahwa PSU sudah terlaksana dengan baik. Klaim bukan hukum. Bahkan bisa bohong dan berulangkali terbukti di MK. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU