TAJDID.ID~Banda Aceh || Dalam kesempatan pekan terakhir Ramadhan kali ini, lembaga i Care Aceh dan komunitas Circle of Share ‘n Care mengganti kegiatan berbagi takjil di setiap hari jumat dengan mengadakan kegiatan berbagi daging meugang masak (yang sudah dijadikan gulai) diolah menjadi gulai masak Aceh.
Owner Circle of Share ‘n Care, Silfia Meri Wulandari, SKM MPH menuturkan, target pembagian adalah 100 paket yang akan dibagikan kepada keluarga fakir, yatim dan dhu’afa.
“Donasi terhimpun sebanyak Rp 7.738.000, bersumber dari teman-teman alumni MIPA Universitas Syiah Kuala, sahabat dan rekan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Aceh dan Puskesmas Jaya Baru, pengurus PW ‘Aisyiah Aceh, Guru SMK 13 Banda Aceh, dan ada juga donasi dari luar Aceh seperti di Lampung, Yogya, Makassar, dan Medan,” jelasnya.
Pembagian dilakukan pada Selasa/11 Mei 2021, jumlah paket yang didapatkan adalah sebanyak 102 paket, sasaran pembagiannya adalah di Desa Alue Naga (pemukiman penderita penyakit kusta), Lambaro Skep, Lampulo, dan beberapa paket juga dibagikan kepada penjual/loper koran diperempatan lampu merah, petugas kebersihan, petugas parkir, pencari tiram, pemulung.
Distribusi paket ini dibantu oleh para relawan yaitu mahasiswa Universitas Syiah Kuala.
Dalam laporannya, Rayyan dan Valdies mengatakan bahwa mereka mendapati penerima paket dengan kondisi rumah yang sudah tidak layak huni, dan ada rumah panggung yang harus berhati-hati menaikinya, karena khawatir lantainya jebol. Sedangkan rumah yang didekat empang, setiap kali hujan dengan intesitas sedikit tinggi, maka harus mengungsi karena air empang naik kerumah mereka yang rendah.
“Tak henti-hentinya do’a dipanjatkan oleh penerima paket untuk para donatur yang sudah mau berbagi dalam kondisi wabah seperti ini, dan kepada panitia juga kepada relawan yang sudah mengantarkan langsung kepintu rumah mereka,” ungkap Rayyan.
Harapannya kegiatan ini bisa lebih menjadi perhatian kita semua untuk masyarkat yang tinggal di pinggiran Ibu Kota, karena jika menunggu dari Pemerintah tentunya akan sangat memakan waktu lama dengan segala birokrasi yang harus dipenuhi.
“Mari bergabung dengan kami yang berbagi setiap pekannya, walau hanya sebungkus nasi.
Mudah bagimu, mewah menurut mereka. Berbagi itu Candu,” ujarnya.
***
Tradisi Meugang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh. Meugang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh. Kala itu (1607-1636 Masehi), Sultan Iskandar Muda memotong hewan berjumlah ratusan dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terima kasih kepada rakyatnya. Kala itu kegiatan ini di atur dalam Beleid Kerajaan atau Qanun Meukuta Alam Al-Asyi (Undang-Undang Kesultanan Aceh).
Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1873, kesultanan jadi kewalahan mengelola meugang sehingga tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka Meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun. Tradisi Meugang juga dimanfaatkan oleh pahlawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan.
Menikmati meugang hakikatnya adalah silaturahim bersama keluarga besar, kerabat dan yatim piatu. Dan yang merantau acapakali untuk pulang ke kampung (woe gampoeng) guna menikmati moment ini dirumah beserta kedua orang tua.
Meugang atau Makmeugang adalah kegiatan menyembelih kambing, sapi atau kerbau. Selain kambing dan sapi, masyarakat Aceh juga ada yang menyembelih ayam dan bebek. Tradisi meugang di desa biasanya berlangsung satu hari sebelum bulan Ramadhan atau hari raya, sedangkan di kota berlangsung dua hari sebelum Ramadhan atau hari raya. (*)
Kontributor: Agusniadi B