Perenungan Ulang
Salah satu retorika yang sering dilontarkan para elite Indonesia dan para pemimpin negara-negara lemah adalah keingingan mereka untuk membangun kota metropolitan ‘kelas dunia’ sebagaimana London di Inggris, New York di Amerika dan Tokyo di Jepang. Sebetulnya mereka tak lebih dari penyambung absesi rakus (komprador) bagi tangan pemodal skala dunia. Mengapa begitu? Tak aka nada terbertik dalam Nurani komprador kenyataan sosial London yang telah menjadi salah satu kota yang paling banyak dilanda kerusuhan dalam beberapa tahun terakhir. Tokyo telah menjadi salah satu kota dengan biaya hidup termahal di dunia dengan penduduk yang sangat gandrung memilih jalan bunuh diri. Tidak ketinggalan New York yang telah menjelma menjadi salah satu kota maju tanpa Nurani tersebab telah menjadi fakta tempat pemelihara tingkat kemiskinan tertinggi di dunia.
Semua ini terjadi karena retorika pembangunan kota dunia itu sebenarnya adalah alat para elite (penguasa dan pengusaha) memaksimalkan kesegaraan dan tingkat kepastian peraihan keuntungan dengan mengorbankan mayoritas penduduk kota. Kota dunia hanya dimaksudkan untuk menguntungkan penguasa dan pengusaha. Bukan mayoritas penduduk kota, apalagi kalangan miskin yang pasti akan semakin miskin. Bangunan, budaya, dan aturan dirancang untuk menjadikan kapital sebagai dasar sistem kehidupan dan hubungan sosial. Lebih ironis lagi, mayoritas penduduk kota (dan tentu saja desa) yang miskin itulah yang sering menjadi pihak yang terpaksa mendanai pembangunan kota dunia melalui hutang luar negeri dan berbagai macam pajak yang diciptakan melalui kewenangan kekuasaan.
Jika secara sederhana saja dapat ditunjukkan kota-kota direkayasa agar lebih produktif dalam penciptaan komoditi (barang dan jasa) sekaligus distributif dalam sirkulasi kapital, maka bantahan atas ambisi membangun kota dunia adalah moralitas yang mestinya tumbuh subur.
Bukankah ekspresinya bisa dilihat dalam perluasan volume jalan raya, pengembangan infrastruktur transportasi nasional dan internasional seperti pelabuhan dan bandar udara, penciptaan pusat-pusat ekonomi primer hingga tersier. Simultan dengan pembentukan layout-nya, kota juga disulap sebagai preservai industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) dan area turisme, yang sebetulnya adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak lebih sebagai sirkulasi manusia ke berbagai tempat untuk mengkonsumsi, atau produk sampingan dari sirkulasi komoditi? (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum n’BASIS