Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Salah satu ancaman serius yang dulu tak begitu diperhitungkan dalam pendirian dan manejeman Partai Amanat Nasional (PAN) akan potensial terjadi ke depan dalam Partai Ummat, yakni:
Pertama, jarak ideologis, komitmen dan intelektual tokoh sentral begitu jauh dengan elit partai pada lapisan lingkar dalam. Sedangkan dalam lingkar berikutnya terutama para figur yang merasa diri cocok untuk menjadi anggota legislatif dapat potensil terjebak pada populisme khas berbasis kadar euforia tertentu dan sejenis harapan penggantangan political benefit pribadi.
Dulu PAN didirikan dengan modal karpet merah struktur jaringan nasional Muhammadiyah. Kemudahan itu tentu akan terus dicoba untuk dipetik oleh Partai Ummat. Namun dalam banyak hal ia akan terkedala terutama oleh fakta bahwa elit Sumberdaya insani Muhammadiyah yang memiliki bakat dan keterampilan politik saat ini sebagian besarnya sudah terserap. Jika ada eit yang kelihatan seakan menganggur, umumnya mereka adalah figur terpental dari PAN dan partai-partai lain dan secara serta-merta merasa beroleh momentum untuk terjun kembali ke dunia politik dengan alasan identifikasi diri dengan tokoh sentral Amien Rais. Jumlah mereka pun tidak begitu banyak.
Kedua, jika PAN beroleh keuntungan istimewa dari Muhammadiyah tak hanya karena struktur jaringan, tetapi juga sumberdaya insani. Kondisi sekarang jauh berbeda. Pasca kejatuhan Soeharto potensi politik kader terdorong oleh euforia sehingga dalam menjalankan tugas dan fungsi kepartaiannya mereka kalah jauh dari kader lain yang berasal dari luar Muhammadiyah. Proses itu yang terjadi sehingga secara psikologis banyak orang menilai Muhammadiyah tak memiliki benang merah lagi untuk dipertahankan dengan PAN dalam kondisinya yang sekarang. Meski Muhammadiyah memiliki keinginan untuk dapat mengandalkan saluran politik tertentu dalam mengontrol kebijakan, PAN misalnya, tetapi selama ini hal itu tidak memuaskan. Partai Ummat pastilah memiliki pendukung yang jauh lebih bervariasi dari PAN saat pertama didirikan dan Muhammadiyah tidak bisa berharap lebih dibanding kepada PAN.
Ketiga, kita ketahui gagasan pendirian partai baru pernah mendahului gagasan pendirian Partai Ummat, yakni apa yang kita kenal dengan Masyumi Reborn. Itu kelihatan redup seiring dengan munculnya Partai Ummat. Jika Partai Ummat bisa mengkosolidasikan partai-partai dan gagasan partai non-parliamentary lainnya untuk menyatu dalam dirinya, memang ada peluang untuk melaju mendahului PAN. Tetapi resep untuk itu harus sangat canggih.
Keempat, nilai populisme Partai Ummat harus segera dimunculkan dengan argument ideologis dan akademis yang secara konsisten didasarkan pada keluhan Ummat saat ini dengan tingkat rasionalitas yang merasuk ke penalaran ummat pada grass root. Misalnya, Partai Ummat dengan piawai mempersiapkan materi kampanye “Indonesia tanpa pengangguran” dan medisain simulasinya dengan sangat masuk akal. Sedikit banyaknya isu pembebasan pajak kenderaan roda dua oleh PKS dan terpaan derita keummatan telah berdampak pada kemajuan yang dicapai oleh partai itu meski tentu terasa tidak optimum.
Jadi ummat harus diberi kesadaran atas sebuah harapan rasional, dan kini isyu yang paling masuk akal adalah Indonesia Tanpa Pengangguran. Peran isyu lain seperti anti KKN dan gagasan lainnya dapat diposisikan sebagai supportive issues. Tidak ada orang yang percaya narasi kampanye partai mana pun tentang anti korupsi, saat ini.
Kelima, bagaimana mengenali derita keummatan dan mengkapitalisasinya menjadi dorongan membangun soliditas berbasi politik identitas sangat mungkin menjadi salah satu basis potensi kuat mengatasi kendala-kendala lain di lapangan. Bahwa di tengah keluhan atas posisi dan peran umat Islam dalam politik saat ini dan bantahan-bantahannya dari komunitas-komunitas lain, ditambah dengan fakta menguatnya politik Islamofobia yang bersemangat dan berjejaring internasional, menjadi masalah tersendiri yang tidak mungkin tak dikonstruksikan dalam pemetaan yang akan membangun substansi visi dan misi partai baru ini.
Keenam, Muhammadiyah, seperti biasa akan terus acuh tak acuh. Ia masih memiliki kadernya di PAN meski ia sudah tak lagi cukup puas dengan perannya selama ini. Ia juga akan bersikap mendua menerima kehadiran Partai Ummat karena yang tercatat dalam sejarah malah politik praktis it uterus-menerus memproduksi bukti-bukti penyelewengan yang serius. Akhirnya Muhammadiyah akan ambigu yang kemudian melahirkan sikap seperti penonton di dalam sebuah pertandingan olah raga. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumatera Utara.