Oleh: Hasmi Bakhtiar
Konsekuensi berdemokrasi tidak hanya menerima pemimpin politik sesuai warna mayoritas, tapi juga pada sosial bahkan konstitusi. Misalnya, di Perancis, sekularisme sangat terasa dalam sosial mereka. Di Denmark, gereja Lutheran dijamin dalam konstitusinya atau Ortodoks di Yunani.
Ini bukan tirani mayoritas, tapi memang demokrasi menempatkan mayoritas pada posisi seperti itu tanpa mengecilkan hak minoritas. Salah jika menganggap demokrasi menghilangkan warna mayoritas atas nama menjaga perasaan minoritas. Itu demokrasi yang tidak dewasa.
Di Indonesia, mayoritas adalah muslim. Kita harus terima syiar-syiar keislaman akan terasa sangat dominan di sana apalagi pada bulan Ramadhan. Itu hal yang sangat wajar. Ada yang terganggu? Juga wajar, tapi itulah konsekuensi berdemokrasi.
Untuk syiar keagamaan, masyarakat Perancis yang sekuler saja sangat biasa dan menerima suara lonceng dari gereja-gereja seantero kota, bahkan desa, walau kita gak pernah dengar suara adzan keluar dari masjid-. Gak ada yang mempermasalahkan suara loncengnya merdu atau tidak. Biasa saja.
Ada hal-hal yang harus diatur? Tentu. Makanya sering-sering ikut kumpul warga atau rapat pengurus masjid. Sampaikan apa yang dirasa baik. Sepele sebenarnya tapi ini mengukur kedewasaan kita.
Suara masjid berisik curhat di socmed. Kenalan dong sama pengurus masjidnya. Ikut dong kegiatan di masjid atau kalau bisa jadi panitianya. Bikin kegiatan yang dianggap baik. Bukannya masjid itu rumah bersama? Kalau ada yang keliru seharusnya nasehat didahulukan timbang hujatan.
Di Indonesia, halaman rumah gue satu halaman dengan masjid. Tiap Ramadhan gak cuma tadarusan yang terdengar, tapi suara petasan juga. Di Perancis, gue malah kangen suasana seperti itu. (*)
Penulis adalah pengamat internasional. Alumni Al-Azhar Kairo, sekarang tengah menempuh studi di Lille Universiy Prancis. Artikel ini dikonversi dari sebuah utas di akun twitter @hasmibakhtiar .