Aku, Ayah, dan Bunda berdiri di samping Kak Azam yang telah membuka mata. Bahagia bukan main, saat Bunda memberitahu bahwa Kak Azam sudah sadar dari koma. Wajah pucat itu tersenyum tipis padaku, ia sudah tak bisa bicara lagi, penyakit itu telah merusak pita suara indahnya, yang dibanggakan semua orang saat menggemakan kalam-kalam Illahi.
“Kenapa, ya, suara Kak Azam indah?”
“Karena nama Kakak Multazam, makanya suaranya sebening air zamzam, jadi jangan panggil kakak dengan nama jelek itu lagi …!” Bangganya sambil melempar bantal ke arahku.
Aku cemberut. “Mentang-mentang udah terkenal, aku doain suaranya jadi jelek kayak bebek.”
Tadinya aku hanya bercanda, tapi ternyata bagi Allah itu benar-benar doa, sedih dan menyesal seharusnya aku tidak bermain-main dengan ucapan.
“Apa Kak? Kakak ingin bicara apa?” tanya Bunda saat melihat bibir Kak Azam bergerak kecil.
Kak Azam menatapku, lalu melirik al-Quran di atas meja. Aku tau maksudnya, segera aku meraihnya dan duduk di kursi, hati-hati kubuka permulaan juz ke dua puluh sembilan. Surah favorit Kakak yang seminggu ini kucoba hafalkan, aku ingin seperti dia yang hafal surah-surah selain juz ‘amma.
Aku mulai membacakan surah ke 67 itu. Ayah menggenggam jemari Kak Azam yang menatapku serius, sedangkan Bunda diam menunduk. Keadaan menjadi sunyi, setelah aku menyelesaikan tilawah. Seorang keluarga sesama pasien mendekat, dan makin banyak yang mengikuti, menenangkan Bunda yang tak mampu lagi membendung air matanya.
“Ma … ha … sih,” ujarnya sangat pelan. Aku perhatikan wajahnya diguyur keringat dingin, bercampur debit darah yang deras meluncur dari dalam hidungnya. Sederas air mataku yang tanpa sadar sudah berlompatan dari kelopak mata, napasnya memberat dan tubuhnya melemas, ia kembali tidur, tetapi bukan untuk bangun kembali.
Tangis Bunda semakin keras ketika Ayah mengucapkan Innalillahi wainnailaihirojiuun. Kalimat itu bagai hantaman batu-batu ababil, tetapi air mata ini tak bisa mengubah ketentuan-Mu Yaa Allah. Aku pernah bilang tidak akan menangis jika dia Engkau panggil, tapi aku tak bisa melakukan itu.
Wajah tenang itu seakan-akan berkata. “Tahukah kau, Mifa, saat kau baca kalam Illahi itu, para malaikat memanjatkan doa buat kakakmu, menjemputnya menuju kebahagiaan yang sebenarnya. Barang siapa menganggap cobaan berat yang menimpanya adalah suatu kebaikan, dan ia bersabar, maka ia adalah sebenar-benarnya manusia terbaik.” (*)
Agustus 2012.