Multazam namanya. Azam, begitu orang biasa memanggilnya, ia akan protes bila aku memanggilnya Kazam. Kak Azam, itulah maksudku.
Jika orang bercerita tentang pacarnya, ayah atau bundanya, maka aku ingin menceritakan tentang kakakku, kakak juara satu yang kumiliki, kakak terhebat yang kuteriakan namanya agar semua tahu, tak ada yang kubanggakan selain dia.
“Kehidupan ini seperti ikhfa, samar. Tapi, nikmat yang Allah limpahkan itu seperti idzhar, jelas.”
“Jadi, hukum nun mati bertemu fa, itu apa? ikhfa atau idzhar?”
“Huruf ikhfa ada berapa?”
“Lima belas,” jawabku ketika itu. Akan tetapi, Kak Azam belum kasih tahu semuanya.
“Kalau idzhar, kakak udah kasih tau, kan. Apa fa termasuk di dalamnya?”
“Tidak.”
“Nah, sekarang kau tentu tahu jawabannya. Satu lagi yang mesti dibiasakan, panggil kakak aja, gak usah pake nama, gak sopan!”
Baru setahun ini Kak Azam mengajarku yang baru menamatkan iqro enam. Ketika itu ia masih terlihat baik-baik saja, meski tubuhnya terlihat semakin kurus. Aku tak mengerti apa yang terjadi, setahuku Kak Azam pulang dari ma’had karena sudah selesai Tsanawiyyah dan akan melanjutkan ke Aliyyah di ma’had yang berbeda.
Awalnya aku mengiyakan, karena alasan cukup berlogika. Namun, hampir sebulan pasca tahun ajaran baru, Kak Azam belum mengurusi pendaftaran ke Aliyyah manapun, dan tak ada tanda akan kembali ke ma’had. Aku mulai curiga, hingga akhirnya tahu semua yang mereka sembunyikan.
“Emang Mifa gak ingin ya, Kakak tetap di rumah?” tanyanya saat aku bertanya kenapa belum kembali ke ma’had.
“Yee, tidak Kak. Malah Mifa seneng. Kan, Kakak bisa ngajarin Mifa sampai khatam,” jawabku sambil memperhatikan Kak Azam yang sibuk dengan kitabnya.
“Mifa tahu gak siapa yang menghidupkan kita?” tanyanya.
“Allah …!” jawabku enteng.
“Kalau begitu, Allah juga yang mematikan kita. Nah, kalo urusan mati, mau Kakak dulu atau Mifa dulu?”
Sejenak aku diam dan berpikir. “Yang tua dulu dong, Kak. haha …,” candaku.
Kak Azam tertawa pelan. “Kalau benar Kakak mati duluan, Mifa jangan nangis ya, kan, Mifa sendiri yang minta, hehe!”
“Yee pede, sayang tahu air mata Mifa kalau hanya untuk nangisin Kakak,” celetukku. Padahal aku begitu takut jauh darinya, jangankan untuk mati, waktu dia di pondok saja, aku suka menangis sendiri merindukannya.
Tidak adakah kata yang lebih sederhana untuk mengganti nama penyakit kanker atau karsinoma nasofaring lebih tepatnya, sehingga musibah ini tak perlu seperti kisah novel atau sinetron. Agar tak membuatku berdiri di puncak ketakutan yang maha tinggi, tidak adakah pilihan lain, Yaa Allah.
Bagiku Kak Azam begitu istimewa, sehingga Engkau perintahkan sel-sel jahat itu bersarang di belakang rongga hidungnya. Bahkan kini telah menular pada organ tubuh lainnya, dan dengan mudah Engkau mengambilnya dari sisi kami. Tidak adakah cara yang lebih halus untuk ia memenuhi panggilan-Mu.
Aku tak suka kakakku melawan penyakit itu, hingga ia menitikan air mata menahan sakit yang membabi buta, akibat radioterapi menyebabkan beberapa komplikasi. Aku tidak suka ketampanannya hilang akibat pembengkakan pada leher hingga wajah. Apalagi suara indahnya ikut terampas, suara indah yang mengantar pemiliknya menjadi juara MTQ nasional tiga tahun lalu, suara indah yang kudengar ba’da Magrib dan Subuh di balik pintu itu.
Bagaimana bisa Yaa Allah? Kau buat orang sebaik dia menderita seperti itu, bahkan masih bisa mengatakan apa yang ia terima adalah sesuatu yang baik.
“Bagi orang-orang beriman, segala keadaan tetap akan menjadi kebaikan. Rasulullah bersabda, seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu menjadi baik baginya. Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya; jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar dan itu baik baginya,” katanya saat aku menangis di samping pembaringannya. Suara yang pelan dan parau itu membuat tangisku semakin hebat.
“Katanya Allah itu maha adil, tapi kenapa Dia memberikan penyakit itu pada Kakak. Kakak kan rajin salat, puasa sunah, dan rajin baca Al-Qur’an juga, bahkan hampir hafal semuanya. Kenapa gak orang jahat aja yang punya penyakit itu?”
“Kakak juga rajin marahin kamu.” Ia tertawa pelan sambil mengelus rambutku yang tergerai, mata cekungnya yang semakin mengabur menatapku sendu.
“Mifa rela dimarahin terus, asal Kakak tetap bersama Mifa.”
Ia tersenyum merengkuhku, terasa hangat meski tubuhnya begitu dingin. “Allah menyayangi Kakak, Mifa, juga Bunda dan Ayah. Dia yang berkuasa atas hidup dan mati, terserah Dia mau memberi ujian seperti apa, tinggal kita menerima dengan ikhlas.”
Ia sungguh telah dewasa sebelum waktunya, empat tahun jauh dari Ayah dan Bunda membuatnya menjadi pribadi yang bijak. Usianya enam belas tahun, tetapi pemikirannya jauh dari anak-anak seusianya.
“Mifa, kenapa makanannya dibiarkan begitu?” Aku terhenyak menatap ayah yang sudah kembali dari salat isa, wajahnya mirip Kak Azam. Aku tahu lelaki yang mulai beruban itu lebih takut kehilangan putranya, tetapi setidaknya ia sudah menghabiskan banyak waktu bersama Kak Azam. Sementara aku, baru setahun ini bisa dekat dengannya. Ah, setidaknya Allah masih memberi kesempatan.
“Ayah tahu gak, kenapa Mifa gak ingin ke pondok seperti kak Azam?” Ayah diam menungguku menjawab sendiri pertanyaan itu.
“Karena Mifa ingin selalu bersama ayah bunda, tapi Kak Azam mengajarkan satu hal, semakin jauh jarak anak dan orang tua, semakin dekat batin keduanya. Lulus SD nanti Mifa ingin ke pondok, ya!”
“Iya, Sayang.”
Ayah mengangguk, lalu mencium puncak kepalaku dan aku menangis dalam pelukannya.
***