TAJDID.ID~|| Kabar tentang Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah mendapat pemberian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari Presiden Joko Widodo saat pertemuan mereka dengan Presiden di Istana Negara, Ahad (24/1) yang lalu terus menuai polemik.
Sebagian pihak ada yang mendukung, tapi tidak sedikit pula yang menolak, termasuk dari internal persyarikatan Muhammadiyah.
KPA: Contoh Buruk Praktik Monopoli
Dikutip dari RMOL, Jum’at ( 26/3), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyampaikan beberapa pandangan terkait pemberian tanah tersebut.
Pertama, dalam Reforma Agraria istilah kelola lahan itu tidak ada. Tanah TORA itu diberikan kepada masyarakat yang berhak dalam bentuk hak atas tanah secara penuh sesuai UUPA 1960 dan Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Kedua, Pemuda Muhammadiyah secara institusi bukan subyek yang tepat bagi RA. Sebab, TORA wajib diberikan terlebih dahulu kepada petani tidak bertanah (buruh tani), petani kecil (gurem), petani penggarap, nelayan tradisional, masyarakat miskin, masyarakat adat dan masyarakat setempat yang menggantungkan hidupnya pada kebudayaan agraris.
“Merekalah yang paling berhak,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, Kamis (25/6).
Ketiga, lokasi tersebut, lahan seluas 19 ribu hektar lebih yang tersebar di Kecamatan Babat Supat, Keluang, Sungai Lilin dan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan adalah tanah-tanah yang telah digarap sejak lama oleh masyarakat.
Bahkan ada yang telah menjadi kampung serta desa-desa definitif, yang seharusnya sudah sejak lama dilepaskan dari klaim negara atau pun perusahaan di atasnya.
“Artinya, masyarakat setempatlah dan/atau kelompok prioritas tersebut di atas lah yang paling berhak,” sebut Dewi Kartika.
Keempat, dari sisi luasan, tanah seluas 19 ribu hektar lebih yang berasal dari TORA tersebut patutlah dipertanyakan dan diklarifikasi oleh para pihak. Dari sisi luasan yang fantatis telah melanggar Perpres Reforma Agraria.
Jika direalisasikan, sebagaimana pengakuan PP Pemuda Muhammadiyah, ini merupakan contoh buruk dari praktik monopoli penguasaan tanah oleh segelintir kelompok yang difasilitasi negara.
“Dalam kasus ini, artinya hak monopoli tanah diberikan dalam holding PP Pemuda Muhammadiyah dan cabang-cabang usaha/badan yang mungkin akan dibentuknya ke depan,” ungkap Dewi Kartika.
Lebih lanjut ia mengatakan, negara kita sudah memandatkan pelarangan monopoli atas tanah sejak 1960, yang saat ini akibat-akibat larangan tersebut diabaikan selama 60 tahun lebih telah menyebabkan ketimpangan yang tajam, perampasan tanah dan konflik agraria yang masif di berbagai tempat, termasuk Provinsi Sumatera Selatan.
“Patut diingat pula, ada lebih dari 16 juta rumah tangga petani gurem di Indonesia, sisanya landless peasants alias petani tidak bertanah dan berada dalam situasi kemiskinan akut akibat krisis agraria,” terang Dewi Kartika.
Kelima, Reforma Agraria telah diperjuangkan kaum petani sejak tahun 80’an hingga saat ini. Sudah tidak terhitung jumlah korban konflik agraria termasuk kekerasan yang mengikutinya. Telah puluhan ribu petani ditangkap dan direpresi, bahkan hilang nyawa karena memperjuangkan hak atas tanah.
“Pemberian 19 ribu hektar TORA begitu saja kepada pihak yang tidak berhak (free riders), sangatlah ironis di tengah kelambanan realisasi redistribusi tanah, termasuk TORA pelepasan kawasan hutan oleh pemerintah kepada subyek prioritas RA yang telah diusulkan oleh ratusan ribu keluarga petani dan komunitas adat,” tuturnya.
Keenam, pemerintah harus mentaati tujuan-tujuan Reforma Agraria yang telah diatur oleh pemerintah sendiri, salah satunya dengan menegakkan prinsip-prinsip ketepatan subyek dan obyek prioritas Reforma Agraria, termasuk mencegah masuknya para penumpang gelap RA.
“Dengan begitu, perbaikan ketimpangan struktur agraria, penyelesaian konflik agraria yang akut, dan pemberantasan kemiskinan struktural di pedesaan akibat struktur agraria yang tidak adil, betul-betul menjadi sasaran kerja kebijakan RA di Indonesia,” ucap Dewi Kartika.
Jelas dia, seluruh kementerian dan lembagai yang bertanggungjawab terhadap penyediaan 19.685 hektar harus segera meluruskan penyelewelengan yang terjadi atas nama RA ini.
Di tengah realisasi TORA dari pelepasan kawasan hutan mengalami kemacetan luar biasa selama enam tahun terakhir (0,2 persen dari janji 4,1 juta hektar) tentu ini menyakitkan bagi ratusan ribu keluarga petani dan komunitas adat yang berpuluh tahun mengajukan penyelesaian dan pemenuhan haknya dalam kerangka RA.
Pemerintah sebaiknya tidak gegabah dalam menjalankan RA, apalagi terjebak pada kepentingan politis sesaat dan pragmatis.
Masih banyak kelompok rakyat Indonesia yang lebih berhak dan membutuhkan redistribusi tanah, utamanya kaum petani, buruh tani, komunitas adat, dan rakyat di pedesaan-perkotaan yang selama ini mengalami ketidakadilan dan kemiskinan akibat konflik agraria kronis dengan klaim-klaim kehutanan dan perkebunan. Ke sanalah seharusnya muara RA ditujukan.
Ketujuh, masyarakat luas, organisasi masyarakat sipil, termasuk ormas-ormas lintas keagamaan yang selama ini telah menunjukkan keberpihakan kepada hak-hak petani dan telah ikut mendukung perjuangan Reforma Agraria, penting untuk terus mengawal dan bersikap kritis terhadap arah kebijakan dan implementasi RA.
“Termasuk kritis terhadap potensi munculnya para penumpang gelap RA yang ikut menikmati/menerima hak atas tanah yang bukan haknya. Secara sadar atau pun tidak sadar telah mengambil hak rakyat kecil. Gerakan masyarakat sipil, termasuk organisasasi kemahasiswaan dan kepemudaan harus menjadi garda terdepan meluruskan penyimpangan atas nama RA,” katanya.
BPN: Tidak Ada Masalah
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengatakan Presiden memiliki hak untuk memberikan kepercayaan kepada semua pihak untuk mengelola tanah negara.
“Soal itu adalah hak Presiden. Itu kebijakan Presiden berapa saja luas lahannya dan kepada siapa saja akan diberikan. Yang penting kementerian akan mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden,” kata juru bicara Kementerian ATR/BPN, Teuku Taufiqulhadi kepada wartawan, Rabu (24/3/2021).
Taufiq mengatakan saat ini lahan yang ada di Sumsel itu masih dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dia menyebut BPN akan berkoordinasi dengan KLHK kapan tanah itu akan dikelola oleh Pemuda Muhammadiyah.
“Nanti juga akan saling berkoordinasi antar kementerian. Sekarang masih di tangan KLHK. Belum (dikelola Pemuda Muhammadiyah),” kata dia.
Taufiq mengatakan tidak adalah masalah dengan keputusan Presiden Jokowi untuk mempercayakan pengelolaan 19 ribu hektare ke Pemuda Muhammadiyah. Taufiq menyebut pengelolaan tanah juga pernah diberikan ke Nahdlatul Ulama (NU).
“Itu kebijakan presiden. Tak masalah. Seperti diberikan kepada NU,” katanya.
***
Dikutip dari laman muhammadiyah.or.id, diketahui, bahwa Presiden menyambut baik agenda PP Pemuda Muhammadiyah terkait pemberdayaan para pemuda di bidang ekonomi, kewirausahaan dan agrobisnis.
Dukungan tersebut salah satunya adalah komitmen untuk memberikan konsesi lahan yang bisa dikelola secara mandiri oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Menepati janji itu, PP Pemuda Muhammadiyah dipercaya untuk mengelola lahan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) seluas 19,685 hektar yang tersebar di Kecamatan Babat Supat, Keluang, Sungai Lilin dan Batang Hari Leko.
“Lahan ini nantinya akan dimanfaatkan, dan dikembangkan untuk pengelolaan sampah mandiri, pengembangan peternakan, dan pengembangan hidroponik, berbasis pemberdayaan masyarakat. Dengan ikhtiar membantu Visi Muba Maju Berjaya,” ungkap Sekretaris Jenderal PP Pemuda Muhammadiyah Dzulfikar Ahmad Tawalla, Jumat (19/3).