TAJDID.ID~Medan || Hari terakhir Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) kerjasama Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FHUMSU) dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Sabtu (20/3) diisi oleh H. Shalih Mangara Sitompul, S.H., M.H. yang merupakan Wakil Ketua PERADI. Dalam kesempatan itu ia menyampaikan materi “Fungsi dan Peran Organisasi Advokat”
Dalam materinya ia menjelaskan tentang apa fungsi dan peran organisasi advokat yang diawali dengan sejarah berdirinya organisasi advokat di Indonesia.
Shalih menuturkan, sebelum terbit UU No.18 Tahun 2003 tentang advokat, awalnya pengangkatan advokat dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen Kehakiman. Tak lama kemudian, muncul perdebatan di kalangan advokat dan diusulkan agar pengangkatan itu tidak dilakukan oleh pemerintah. Lalu, usulan tersebut masuk dalam RUU Advokat yang dibahas di DPR pada tahun 2000.
“Setelah UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat terbit pada 5 April 2003, Shalih menjelaskan pengangkatan advokat dilakukan bukan lagi oleh Departemen Kehakiman, tapi oleh organisasi advokat. Pasal 2 ayat (1) UU Advokat mengatur yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti PKPA yang dilaksanakan organisasi advokat,” jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, UU Advokat juga mengamanatkan paling lambat 2 tahun setelah UU ini berlaku organisasi advokat harus sudah terbentuk. Menindaklanjuti amanat UU Advokat tersebut, 7 organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI melakukan rapat untuk membahas bagaimana cara membentuk organisasi advokat tersebut.
“Rapat itu menghasilkan 2 opsi, yang pertama dalam membentuk organisasi advokat harus melibatkan seluruh advokat di Indonesia. Kedua, jika cara itu tidak berhasil, maka pembentukan organisasi advokat dilakukan advokat dengan cara perwakilan,” katanya.
Shalih memaparkan untuk melaksanakan opsi pertama ada hambatan teknis, antara lain tidak ada tempat yang bisa menampung jumlah advokat Indonesia yang jumlahnya waktu itu lebih dari 13 ribu orang. Akhirnya, dipilih opsi kedua dimana 13 ribu advokat Indonesia yang diwakili oleh 8 organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI.
Masalah selanjutnya adalah apa nama organisasi yang akan dibentuk itu karena UU Advokat tidak memberikan nama untuk organisasi tersebut. Dari berbagai daftar nama yang diusulkan, disepakati organsisasi advokat itu bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
“Akhirnya, Peradi dideklarasikan 21 Desember 2004, tapi setelah Peradi terbentuk Shalih menilai kesalahan saat itu yakni tidak membubarkan 8 organisasi advokat yang ada sebelum terbentuknya Peradi,” ujarnya.
Menurut Shalih, orang yang tidak paham dengan sejarah organisasi advokat di Indonesia akan berpendapat bahwa Indonesia menganut sistem organisasi advokat multi bar. Padahal sejak UU Advokat terbit, Indonesia sudah jelas menganut single bar system. Hal ini sebagaimana termuat dalam pasal 28 ayat (1) UU Advokat dan diperkuat lagi dengan beberapa putusan MK, salah satunya Putusan MK Nomor 35/PUU-XVII/2018. (*)