TAJDID.ID~Medan || Pemerhati sosial politik FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar menilai, bobroknya konsolidasi demokrasi di Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh negara dan lembaga asing yang turut mendesainnya.
Menurut Shohib, negara dan lembaga asing yang jadi donor untuk advokasi demokrasi kita itu lebih mengutamakan apa yang disebut dengan kelembagaan demokrasi, sedangkan substansi dari demokrasi itu sendiri agak diabaikan.
“Begitu juga dengan partisipasi politik warga terkesan agak dibelakangkan. Artinya, formalisasi demokrasi dulu baru kemudian diharapkan kelak bisa menuju substansi,” jelasnya.
Sebagai contoh misalnya, kata Shohib, adanya Pemilu yang rutin dilaksanakan. Menurutnya, pelaksanaan Pemilu seringkali dipertanyakan apakah sudah berjalan secara demokratis atau tidak.
Perombakan Legal Framework
Kedepan, Shohibul menyarankan agar dilakukan perombakan legal framework politik dan demokrasi di Indonesia sehingga lebih substantif dengan ukuran standar rujukannya Pancasila dan Pembukaan/Batang Tubuh UUD 45. Artinya, Pancasila dan UUD 45 harus dilihat dan dipahami sebagai satu dokumen yang selaras dengan aturan-aturan di bawahnya.
“Tidak seperti yang terjadi selama ini, kita melihat tidak ada konsistensi, koherensi dan korespondensi yang kuat antara Pancasila dan UUD 45 dengan implementasi aturan-aturan di bawahnya. Saya melihat ada persolan ketidakselarasan antara Pancasila dan UUD 45 dengan praktik-praktik praksis kehidupan demokrasi kita” ungkap Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini.
Lima Gagasan Besar
Mengupas Pembukaan UUD 45, Shohib membeberkan, bahwa di dalamnya ada lima gagasan besar yang mestinya jadi panduan imperatif bagi perjalanan Indonesia, termasuk makro ekonominya.
Gagasan pertama, pada alenia pertama Pembukaan UUD 45 disebutkan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
“Penjajahan itu tidak berakhir ketika kita memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Penjajahan juga maknanya bukan hanya berasal dari asing, tetapi juga diantara sesama warga negara. Perbaikan itu harus dilakukan merujuk kepada UUD 45 dan dimensinya itu harus pada legal framework politik dan demokrasi Indonesia,” katanya.
Kedua, gagasan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Menurut Shohib, jika hal ini dipegang teguh, maka sudah pasti tidak akan ada gonjang-ganjing di Natuna, karena itu tanah air kita.
“Begitu juga, tak seorangpun warga negara bisa mati sia-sia karena misalnya tak makan. Itu tanggungjawab negara. Dan memang negara kita didirikan untuk desain seperti itu. Dan itulah pesan-pesan dari para pendiri bangsa yang dinukilkan dalam pembukaan UUD 45,” sebutnya.
Ketiga dan keempat adalah gagasan memjukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini terkait dengan pendidikan dan kesehatan. Shohib mengatakan, terkait dengan dua hal ini, pemerintah tidak boleh “berdagang” dengan rakyatnya.
“Apapun ceritanya, mestinya pendidikan dan kesehatan free of charge alias gratis. Mengapa mesti demikian? Karena memang Pembukaan UUD 45 meminta seperti itu,” tegasnya.
Kelima, gagasan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam konteks ini Shohib mengatakan, apapun peristiwa yang terjadi di mana-mana, kalau itu tentang kemanusian, maka Indonesia harus ikut dan wajib bersuara.
“Indonesia tidak boleh diam dan harus bersuara. Karena kita adalah bangsa yang pernah diluluhlantakkan oleh penjajahan, maka sudah seharusnya sensitivitas kita terhadap hal-hal seperti itu harus tinggi dan semestinya kita pro aktif melakukan protes terhadap segala hal yang tidak mengindahkan kemanusiaan, dimanapun itu terjadi,” katanya.
Lantas mengapa perlu merujuk pada UUD 45? Shohib menegaskan, pada Pasal 27 Ayat 2 UDD 45 disebutkan; “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
“Bagaimana terjemahannya? Apakah dengan mendatangkan investor ke republik ini? Tidak! Negara justru berkewajiban menyediakan lapangan kerja. Investor itu pada prakteknya lebih banyak menjadi outvestor. Ia bawa sesuatu ke sini, tapi sebenarnya kemudian lebih banyak yang dibawanya ke luar,” ungkapnya.
“Jadi ketergantungan pada investor adalah sesuatu yang tidak serasi dengan UUD 45 khususnya Pasal 27 Ayat 2 yang secara eksplisit bunyinya: ‘Negara berkewajiban membuka lapangan pekerjaan’, apapun ceritanya. Dan memang begitu amanat konstitusi kita,” imbuhnya.
Karena itu, kata Shohib, berangkat dari hal tersebut kiranya perlu digagas program “jamina pekerjaan dan penghasilan Indonesia”.
“Artinya tak ada pengangguran di Indonesia. Bisakah? Tentu bisa! Indonesia ini adalah negara kaya, tapi selama ini salah urus. Sumber Daya Alamnya tidak dikelola secara baik,” kata Shohib.
Selain itu, lanjut Shohib, legal frame-work juga akan jadi rujukan mempertanyakan pengamalan Sila ke 4 Pancasila yang berbunyi; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Menurut Shohib, selama ini ada dua etape pemerintahan Indonesia. Pertama, era Soekarno (Orla) dan Soeharto (Orba), kedua rezim itu telah menjalankan pemerintahan Indonesia sesuai dengan Sila ke 4 Pancasila. Dan kedua, rezim-rezim yang berkuasa sejak era reformasi 1998 yang menjalankan demokrasi pemilihan langsung.
“Siapakah yang lebih Pancasila? Mereka berdua (Soekarno dan Soeharto) pada era Orla dan Orba kah, atau rezim-rezim sesudahnya sampai sekarang yang melakukan pemilihan langsung Prsiden/Wakil Presiden dan Kepala Daerah? Saya melihat, faktanya kecenderungan transaksional dari pemilihan langsung lebih parah dan berbahaya.” tegasnya.
“Saya melihat koherensi dan korespondensi antara Pancasila dengan praktek-praktek demokrasi sangat bermasalah,” tambahnya.
kemudian, terkait ukuran-ukuran demokrasi, dimana selama ini dikenal Indek Demokrasi Indonesia yang di dalamnya ada tiga daerah pengukurannya dan sekian parameternya.
“Tapi di situ tidak ditemukan bagaimana jawaban demokrasi dalam ekonomi. Kalaupun kesenjangan yang luarbiasa, demokrasi tidak perduli. Padahal bukan itu intinya, Indonesia tidak boleh dengan kesenjangan seperti itu. Sebab, Pasal 33 UUD 45 sesungguhnya sudah mengantisipasi itu,” jelas Shohib.
Jadi, kesimpulannya, jika ingin kehidupan demokrasi republik ini lebih baik ke depan, maka kata Shohib, upaya peninjauan-ulang legal framework Pemilu dan Kehidupan demokrasi Indonesia adalah sesuatu yang urgen dilakukan.
“Dan landasan untuk meninjaunya adalah Pancasila dan Pembukaan serta Batang Tubuh UUD 45,” tutup Shohib.