Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Tidak begitu liar jika orang mengasosiasikan kejadian eksodus kader partai ini sebagai rentetan dari gerakan “pendongkelan” gagal terhadap PD belum lama ini.
Selain dugaan itu jauh lebih aman ketimbang spekulasi (dugaan) lainnya, misalnya bahwa PD secara diam-diam memanfaatkan momentum kudeta untuk memperluas jejaring persiapan kubu pemilu mendatang dengan menyebar kadernya ke PSI, data personal yang ada dalam daftar punishment pimpinan PD juga belum begitu jelas hingga kini.
Kader eksodus yang diberitakan ikut “mengambil alih” kepemimpinan PSI Sumut ini (Muhri) tak salah diposisikan benar-benar menilai tiada lagi prospek di PD dan pada momentum yang tepat memutuskan hubungan. Tentu perasaan tidak puas harus dimaknai sudah cukup lama, terhitung sejak periode politik baru (2019-2024).
Faktor itu sangat penting dihitung untuk melihat hubungan sesama figur internal yang kemudian bermufakat melibatkan Moeldoko untuk merebut kepemimpinan PD dengan cara yang dijustifikasi dan diinterpretasi sendiri sesuai konstitusi partai.
Hal lebih besar yang patut diperhatikan dalam fenomena ini ialah kapasitas kepemimpinan AHY dan daya akomodasinya.
Soal kapasitas kepemimpinan bisa dilihat dari kiprah setelah memimpin. Salah satu isyu besar yang menjadi salah satu maisntream yanģ mengemuka ialah responsibilitas PD mengenai covid-19. Sebetulnya yang mereka lakukan adalah pola konvensional saja, tetapi dilihat dari aspek political marketing memang ada semacam gerakan nasional yang layak tayang di media. Lagi pula di antara partai-partai PD tercatat sebagai partai yang mengalokasikan waktunya untuk memberi perhatian atas wabah Covid-19.
Sebetulnya PD bisa lebih tajam mengarah kepada kebijakan dan tidak sekadar beramal konvensional sebagaimana kelompok-kelompok sosial lainnya.
PD bisa menohok politik anggaran yang bertendensi menguntungkan korporat tanpa gagasan yang dapat diidentifikasi sebagai arah demokratisasi anhgaran.
PD bisa “memaksa” dengan kekuatan politik yang dimilikinya agar pemerintah lebih memihak rakyat, misalnya, dengan mendistribusi dana dari APBN Rp 5-7 triliun untuk Kabupaten/kota dan Rp 10-15 triliun untuk masing-masing provinsi yang akan digunakan membangun proyek infrastruktur yang mempekerjakan rakyat. Jika daya beli rakyat dipulihkan maka gagasan memulihkan UMKM pasti sejalan.
Selama ini gerakannya tak masuk akal, karena tidak ada UMKM yang survive karena cash-flow terus merosot berhubung produk sebagus dan semurah apa pun tak laku dijual karena daya beli rakyat merosot tajam.
Sampai batas itu masih kurang terlihat gagasan-gagasan besar yang menyasar substansi kehidupan rakyat.
Memang terlihat oposisional, namun belum memasuki wilayah sensitif politik yang berpotensi merubah keadaan.
Ketidakpuasan internal PD sebetulnya berawal ketika suksesi yang memenangkan Anas dan tak lama kemudian berakhir dengan kejadian menyedihkan dalam masalah hukum.
Orang tentu masih ingat rivalitas ketika itu dengan nama-nama besar seperti Andi Mallarangeng, Marzuki Alie, dan lain-lain.
Sebetulnya tidak ada yang begitu berbeda sehingga gejolak internal PD lebih riuh. Partai-partai lain pun berwajah “anti-demokratisasi” juga, namun memiliki resep sendiri untuk tetap bertahan.
Ke depan ada tuntutan serius untuk meningkatkan kapasitas figur orang nomor 1 PD, dan SBY yang terus berperan mengawetkan sistem buatannya itu juga harus terus mengkaji keterandalan resepnya untuk tak sekadar bertahan di antara kedahsyatan rivalitas politik khas Indonesia yang sesungguhnya hanya berurusan dengan kepentingan pengistimewaan elit yang jumlahnya sangat terbatas.
Tantangan ini berlaku untuk semua partai, dan mereka perlu move on untuk memasuki wilayah perjuangan yang belum pernah dugeluti sama sekali, yakni menghadirkan keadilan dan mensejahterakan rakyat sebagaimana dititahlan oleh para pendiri bangsa yang antara lain terbaca dalam Djakarta Charter atau Piagam Jakarta. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU.