Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Jika dahulu citra Banyuwangi dikenal sebagai kota santet, maka ke depan akan ada festival santet hingga destinasi mistis di kota itu.
Hal itu tertuang dalam program kerja Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) yang terbentuk di belum lama ini.
Bagaimana pun juga, ini sebuah fenomena setback yang amat merugikan.
Karena itu perlu segera diterbitkan SKB 5 Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pariwisata, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) plus Jaksa Agung untuk menangkal perkembangannya di seluruh Indonesia.
Santet adalah residu keprimitifan yang oleh pihak yang masih percaya dan mengamalkannya dapat menjadi bentuk pelarian tertentu dari kegagalan dalam rivalitas dan struggle mempertahankan hidup di tengah perubahan yang pesat.
Mestinya santet sebagai atribut keterbelakangan (cultural lag) sudah harus digantikan oleh kekuatan iptek. Tetapi sayang, pembangunan gagal menyintuhnya untuk berubah secara transformatif.
Setiap orang memiliki value of expectation dan value of capability. Manakala hal kedua tak sebanding dengan hal pertama, akan terjadi deviasi. Karena itu, selain secara spritual perlu membimbing kalangan ini ke jalan tauhid dan iman, komunitas ini memerlukan pelatihan keterampilan dan akses ke sistem sumber agar mampu memenuhi hajat hidup secara normal dengan penuh kemandirian.
SKB 5 Menteri itu juga perlu utk memastikan penangkalan ancaman bahayanya kepada masyarakat luas karena selain memunculkan kecemasan juga dapat menimbulkan dorongan bagi kalangan tertentu untuk mengikuti jalan sesat ini.
Indonesia bisa degradasi secara drastis di tengah keranjingan ngomong industri 4.0 dan motto “Indonesia Maju”. Praktik santet jelas menentang Pancasila.
SKB 5 Menteri plus Jaksa Agung itu sangat mendesak dilihat dari ancaman krisisnya, kecuali para menteri dan Jaksa Agung takut disantet sehingga memilih mendiamkannya. (*)