TAJDID.ID~Banda Aceh || Polemik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh serentak antara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh tahun 2022, berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), Nomor 11 Tahun 2006. Juga berlandaskan Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016, dimana Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan Pemilihan Kepala Daerah serentak dilakukan pada tahun 2024.
Pengamat Politik Taufiq A. Rahim, SE, M,Si, Ph,D yang juga Kepala LP4M Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA) mengatakan, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang telah merencanakan tahapan Pilkada Aceh pada 17 Februari 2022, semesti jangan tinggal diam.
Dikatakannya KIP Aceh seharusnya pro-aktif, termasuk mengusahakan anggaran dana publik atau dana Pilkada Aceh, dimana proses awal Pilkada yang dimulai 1 April 2021.”
“Sehingga rencana ini bukan seperti rencana tanpa dasar dan persiapan strategis dan angan-angan semata, seperti pepatah bahwa, KIP Aceh bek cet langeit. Bekerja, berusaha, berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh (eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA/legislatif), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Kementrian Dalam Negri (Kemendagri) Republik Indonesia, juga berbagai pihak yang berkaitan dengan Pilkada Aceh, pada 2022.” ujar Taufiq.
Menurut Taufq, ini mesti dilakukan dengan usaha strategis, dalam rangka memperlihatkan bahwa, Pilkada Aceh 2022 ada dasar serta landasan hukum, aturan, logika berfikir dan pemikiran kebijakan tentang kekhususan Aceh.
Ditegaskannya, UUPA merupakan aturan undang-undang yang perlu dihargai, karena merupakan turunan Memorandum of Understanding (MoU) Damai Aceh dengan Pemerintah Republik Indonesia (RI) Pusat, 15 Agustus 2005. UUPA sebagai turunannya dituangkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2006.
“Kemudian turunannya dalam bentuk qanun dalam mengurus, mengelola dan merupakan kebijakan publik untuk kepentingan rakyat Aceh yang sesungguhnya,” jelasnya.
Jika hak kolektif dan kepemilikan dasar hukum UUPA yang merupakan hak dan milik rakyat Aceh Pasca Damai sejak 5 Agustus 2005, dan dituangkan sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 ini tidak dihargai oleh pusat, diabaikan, diberangus karena kepentingan politik kebijakan politik oligarki pusat, maka kata Taufiq ini berpotensi menciptakan persoalan baru ke depan.
Bahkan, lanjut Taufiq, bisa menjadi konflik baru, gara-gara Pemerintah Pusat mengabaikan, mengangkangi dan membenturkan kekhususan Aceh yang merupakan modal politik, hak dan kepemilikan kolektif aturan khusus Aceh, hanya mengakomodir serta mementingkan kebijakan politik terpusat, dan mengorbankan kepentingan politik pusat yang tidak menghargai kearifan dan kebijakan politik khusus Aceh.
Menurut Taufiq, keputusan politik untuk kepentingan rakyat Aceh, ini lebih dipahami dan diketahui persis oleh rakyat dan elite politik dan pemimpin Aceh.
Jika Pemerintah Pusat selalu saja memaksa atau mementingkan kepentingan politik pusat dan terpusat, dapat diprediksi serta dipahami ketidakpercayaan (distrusted) rakyat kepada Pemimpin, elite dan Pemerintah Pusat, Jakarta semakin meningkat.
“Ini berpotensi secara nasional menjadi ketidakstabilan politik, sosial, budaya, ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat tidak terpenuhi. Hal ini akan semakin runyam dan kacau dan kondisi politik dan ekonomi yang sulit diprediksi ke depan terhadap perbaikan kehidupan rakyat yang sesungguhnya.” tutup Taufiq. (*)
Kontributor: Agusnaidi B