Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Semalam berbincang lagi dengan seorang aktivis Islam yang meminta diskusi tentang moderasi keberagamaan. Keren topik itu zaman saiki kan?
Menurutnya hal ini sangat serius dan mendesak demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski merasa “geli” dengan narasi yang sangat umum dan awamisnya itu, saya tetap setia mendengar. Malah saya minta ia mengeksplorasi masalah sedetilnya.
Setelah ia selesai saya berkesimpulan orang ini kasihan. Sama sekali tidak faham akar masalah. Tetapi getolnya minta ampun. Kasihan NKRI jika perspektifnya dilaksanakan.
Kemudian ia pun mempersilakan saya mengemukakan pendapat. Saya manfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya, dan agar tak terasa menohok saya pun memutuskan memilih cara berbicara yang rada kocak.
***
Lucu hari ini. Selama ini orang paling bersemangat berbicara tentang moderasi keberagamaan ini justru yang umumnya boleh dikatakan terindikasi paling tak faham akar masalah. Namun tetap merasa punya mandat, karena faktanya memang mereka secara formal menjadi penyandang label keagamaan tertentu yang seolah representasi mayoritas. Akibatnya ucapan-ucapan mereka terus menerus menambah masalah. Pangkalnya ada pada wawasan yang sangat miskin.
Meski hanya mampu berputar-putar pada logika yang sesat tanpa pernah mengarah pada sebuah solusi, namun mereka selalu harus ditokohkan. Itu untuk legitimasi. Tentulah kefasihan mereka berucap dalil naqli memang terasa menduduki prioritas legitimasi terpenting, dan opini publik yang menentang dan memusuhi setiap perjuangan keadilan sosial terbentuk karena mereka. Ini bisa setara proyek global dan bisa juga beroleh banyak uang dan keuntungan lain dari situ.
Mereka tidak diberi tahu dan karena itu tidak akan pernah tahu dan tak pula pernah mencari tahu bahwa kesenjangan sosial ekonomi telah menjadi hambatan besar memperjuangkan moderasi keberagamaan.
Bersambung (Hal 2)
Indonesia adalah negara yang paling senjang dan menjadi lahan yang subur untuk radikalisasi. Itu disebut tegas oleh Prof Dr Didik J Rahbini kemaren, pada seminar Majelis Tarjih. Jika dirunut sejarahnya, ternyata ini sudah berlangsung sejak pertamakali penjajah Portugis datang dan bercokol di sini (1509-1595) yang kemudian disusul oleh 5 bangsa penghisap darah lainnya (Spanyol, 1521-1692; Belanda,1602-1942; Perancis, 1806-1811; Inggris, 1811-1816); dan Jepang, 1942-1945).
Adalah kebodohan yang “dikehendaki pihak dominan dalam satu bangsa” seperti di Afrika Selatan zaman pra Nelson Mandela, memperjuangkan moderasi keberagamaan oleh kaum elit yang dipilih tanpa memahami fakta dan akar masalah kesenjangan sosial ekonomi.
Hambatan ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi yang dipelihara zaman pra Nelson Mandela yang berakar pada kolonialisme kita tahu telah membawa korban kemanusiaan yang tak terperikan. Tetapi itu hanya menjadi catatan pinggir belaka karena mereka tahu cara memutarbalik fakta bahwa dengan penjajahanlah interaksi dengan modernitas berlangsung di semua koloni.
***
Nelson Mandela sendiri ditetapkan secara hukum sebagai radikal, ekstrimis, kriminal dan sebutan khas kolonial lainnya karena nenentang kondisi struktural yang sangat menindas mayoritas (Benson, 1986).
Ia lama sekali mendekam di penjara. Bayangkan, 27 tahun penjara, terbagi antara Pulau Robben, Penjara Pollsmoor dan Penjara Victor Verster. Ia pun sadar kemajuan missi agama tertentu di negerinya sangat pesat dan itu dikendalikan ketat dari negara paling maju.
Tetapi orang yang beragama di sini mungkin hanya ingin sukses mengejar kesalehan pribadi. Itu corak dan mazhab teologi yang diajarkan. Makanya tak ada secuil pembelaan untuk Nelson Mandela; dari kaum elit keagamaan, dari lembaga kemanusiaan dan apalagi media arus utama.
Bahkan Tuhan yang selalu dialamatkan doa untuk keselamatan “akhirnya tahu” tak pernah beroleh lantunan narasi permintaan keadilan sosial kecuali dari warga jajahan pemilik asli benua hitam yang tertindas. Tuhan dan agama telah tak difahami sejatinya di sini.
Mungkin orang menjadi tak tersalahkan jika berfikir di sini bahwa Tuhan berkulit hitam perlu hadir memimpin perlawanan terhadap Tuhan berkulit putih seperti ditulis Greg Keyes dalam Blackgod (2015) dan Biko Lives (2008). Ketika membuat resensi terhadap Biko Lives, Tinyiko Maluleke memberi judul ulasannya sangat mengharukan “May The Black God Stand, Please! Biko’s Challenge To Religion”.
Bersambung (Hal 3)
Bagaimana kesenjangan sosial dan ekonomi memberi pengaruh pada moderasi keberagamaan? Kata Prof.Dr.Didik J Rahbini, kalau ada kesenjangan (sosial-ekonomi) pasti ada kemiskinan. Kemiskinan itu pintu masuk kemungkaran, kemudharatan, dan kekafiran. Kecemburuan sosial pasti menstimulasi kebencian dan radikalisme yang merusak moderasi keberagamaan.
Baca Juga
Didik J Rachbini: Kesenjangan Sosial Ekonomi Penghambat Perjuangan Moderasi Keagamaan
Untuk melihat potret kesenjangan di Indonesia, Prof.Dr.Didik J Rahbini menyarankan agar data merujuk pda sumber yang paling akurat, yakni Badan Pusat Statistik (BPS), meski untuk kasus kesenjangan data BPS itu sama dengan timbagan emas untuk menimbang beras. Jadi data di BPS kesenjangan itu 0,37 atau 0,38 itu sebenarnya sudah tinggi.
Faktanya, kata Didik J Rahbini (2020), data yang paling akurat yang bisa dipakai untuk melihat kesenjangan adalah data kepemilikan asset. Data terpentingnya itu data kepemilikan dana perbankan.
Dari data yang ada dapat dilihat bahwa Indonesia adalah negara yang paling senjang dan menjadi lahan yang sangat subur untuk melakukan radikalisasi atau menghancurkan moderasi keberagamaan, tegas Prof.Dr. Didik J Rahbini.
***
Sejam setelah berpisah saya ditelefonnya dan mengajukan beberapa tambahan pertanyaan yang saya jawab demikian:
- Nelson Mandela adalah pemegang hadiah nobel perdamaian setelah dipenjara puluhan tahun dan selama penyiksaan yang panjang itu didiamkan begitu saja oleh semua lembaga dan negara pendukung penghargaan nobel perdamaian untuk dirinya. Pikirkanlah tingkat ketergangguan kewarasan berfikir dalam kasus itu.
- Perlulah membaca buku baru terbit dari Thomas Piketty (Capital et Idéologie, 2019) yang menjelaskan ideologi dan kesenjangan kekayaan. Seingat saya terjemahan yang ada baru untuk bahasa Inggeris dan sudah berulangkali Thomas Piketty diundang berceramah di berbagai perguruan tinggi di Amerika dan Eropa.
- Baca jugalah karya Saba Mahmood antara lain (Religious Difference in a Secular Age: A Minority Report, 2016), karya-karya postcolonialism Edward Said (The Question of Palestine,1979; Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World, 1981; Blaming the Victims: Spurious Scholarship and the Palestinian Question,1988; The Politics of Dispossession,1994; dan lain-lain. Juga karya-karya Gayatri Chakravorty terutama “Can the Subaltern Speak? (2010).
- Ada filem lama Indonesia (1970) yang jarang diperhatikan orang. Tontonlah filem bikinan sutradara Nawi Ismail ini. Saya berharap Anda akan beroleh nilai baru tentang keindonesiaan dari filem itu. Kalau tak salah filem Blood Diamond (2006) juga bisa merperkaya wawasan.
- Jika punya waktu pergilah sholat ke masjid yang berbeda untuk setiap waktu. Masjid Agung, Masjid Raya dan Masjid Kampus tidak dipriotitaskan.
- Jika punya waktu periksalah data kepemilikan lahan di Indonesia dan siapa yang menguasai industri dan perdagangan di Indonesia. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut