Oleh: Aprilia Damayanti
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang sangat besar di Indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa Muhammadiyah juga memiliki banyak kader-kader yang menyebar di seluruh penjuru Indonesia.
BahkanMuhammadiyah dikenal sebagai sebuah organisasi Islam pembaharuan yang bercorak modern. Dalam pengamalannya, Muhammadiyah meyakini al-Qur’an dan Sunnah al Maqbullah itu sebagai sumbernya.Tafsir atas al-Qur’an diturunkan pada tataran praksis dan diterjemahkan menjadi gerakan yang nyata.
Dalam hakikatnya, salah satunya yang menjadi landasan pokok pergerakan Muhammadiyah itu dengan adanya kekuatan teologis dari Surat al-Ma’un yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah. Surat Al-Ma’un merupakan surat yang ke 107 yang terdiri dari 7 ayat dan termasuk golongan surat Makiyah. Secara etimologi, al-Ma’un berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan, dan zakat.
Kata al-Ma’un itu berdasarkan tafsir klasik dapat kita pahami sebagai contoh hal-hal kecil yang diperlukan orang dalam kegiatan sehari-hari, yaitu melakukan perbuatan kebaikan dengan memberikan bantuan kepada sesame manusia dalam hal-hal kecil.
Menurut maknanya yang lebih luas, kata al-Ma’un itu artinya “bantuan” atau “pertolongan” di dalam setiap kesulitan.
Di dalam surat al-Ma’un ada beberapa pesan yang dapat kita pelajari, diantaranya yaitu;
Pertama, orang yang menelantarkan kaum dhuafa (mustadh’afiin) tergolong ke dalam orang yang mendustkan agama.
Kedua, ibadah shalat memiliki dimensi sosial, dalam artinya tidak ada faedah shalat seseorang jika tidak dikerjakaan dimensi sosialnya.
Ketiga, mengerjakan amal saleh tidak boleh diiringi dengan sikap riya atau pamer dalam beribadah.
Keempat, orang yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain, bersikap egois dan egosentris termasuk kedalam kelompok orang yang mendustakan agama.
Padasurat al-Ma’un itu menyadarkan orang yang beriman yang taat beragama, orang yang tekun dalam salat, rajin dzikir, rajin membaca al-Qur’an, serta berulang-ulang menunaikan ibadah haji dan umrah akan tetap dikelompokkan dalam sebagai pendusta agama, jika ketaatannya dan beribadahnya itu tidak melahirkan kepedulian dalam social terhadap kaum dhuafa.
Pengertian dhuafa di dalam al-Qur’an yaitu dengan segala perubahannya menurut “al Isfahani” mengandung beberapa pengertian, yaitu lemah fisik, lemah kedudukan, lemah ekonomi, lemah akal/ilmu, dan lemah iman dan jiwa.
Upaya dalam Pemberdayaan Kaum Miskin (Dhu’afa)
Islam memberikan anjuran untuk peduli terhadap masalah kemiskinan, mengabaikan orang yang miskin sebagaimana terdapat dalam surat al-Ma’un, sama artinya dengan mendustakan agama. Apabila kita tidak mau dikatakan sebagai pendusta agama, maka kita harus peduli terhadap masalah kemiskinan.
Lebih dari itu upaya kongkrit dan komitmen terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan dengan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dengan dukungan manajemen dan sumber daya manusia yang unggul dan sebuah perencanaan yang matang.
Di dalam al-Qur’an menganalogikan bahwa pengentasan kemiskinan sebagai sumber perjuangan yang berat, sebagaimana jalan yang mendaki. Menurut al-Qur’an surat al-Baladayat 12-16:
“Dan (tahukah kamu) apa jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan atau memberikan makan pada hari terjadinya kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir.
Untuk keperluan hidup manusia Allah telah memberikan bekal sumber daya alam dan segenap potensi yang terdapat pada diri manusia jika seorang memiliki kemauan untuk mengembangkannya, bahkan Allah telah memberikan jaminan rizki kepada makhluk hidup di muka bumi sebagimana disebut dalam surat Hudayat 6:
مَا مِنۡ دَآ بَّةٍ فِى الۡاَرۡضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزۡقُهَا وَ يَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاؕ كُلٌّ فِىۡ كِتٰبٍ مُّبِيۡوَ
Artinya :”Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
StrategiPemberdayaan
Pemberdayaan kaum dhuafa utamanya menjadi tanggungjawab bagi kaum muslimin, khususnya mereka yang telah diberikan karunia kecukupan harta (kelompok aghniya), mereka berkewajiban untuk mengeluarkan sebagian hartanya baik melalui jalur infaq, maupun zakat.
Persoalannya adalah bagaimana membangkitkan kesadaran masyarakat bagi orang-orang yang mampu untuk melaksanakan kepeduliannya dalam pengentasan kemiskinan.
Orang-orang yang memiliki kelebihan harta tetapi tidak melaksanakan kewajibannya melaksanakan zakat, tidak peduli terhadap kaum fakir-miskin mendapatkan ancaman akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar, (QS, al Muddatsir:44), karena tidak peduli terhadap fakir miskin, sebab dalam harta mereka terdapat hak bagi orang-orang miskin (QS, al Ma’arij:24).
Tahap-TahapPemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah sebagai berikut:
- Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kesadaran tinggi.
- Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
- Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan kemandirian.
Tujuan pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi lebih mandiri. Dimana kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut.
Kemandirian dalam masyarakat adalah suatu kondisi yang dialami masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri kemampuan kognitif, konotif, psikomotorik, afektif, dengan pengarahan sumberdaya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyrakat tersebut.
Padaakhirnya, berhasil atau tidaknya pemberdayaan kaum dhuafa sangat ditentukan oleh kesungguhan para pelaksana dalam menjalankan konsep-konsep yang telah dirancangsebagaibahan acuan untuk melakukan sebuah perubahan sosial (social change) dalam masyarakat itu tersebut. (*)
Penulis adalah Mahasiswi ITB Ahmad Dahlan Jakarta