Beberapa waktu terakhir, sejumlah kepala daerah pun juga turut melakukan penolakan terhadap omnibus law RUU Cika ini. Tergerusnya otonomi daerah dalam RUU Cika menjadi satu di antara alasan untuk menolak RUU Cika. Padahal dahulu tuntutan reformasi 1998 ialah otonomi daerah seluas-luasnya yang sebenarnya bahkan desakan bentuk federasi. Kini 22 tahun kemudian, tuntutan yang belum sepenuhnya terkabulkan itu malah ‘diacak-acak’ oleh makhluk yang bernama omnibus law. Berikut ini, opini otonomi daerah (otda) di omnibus law Cika.

Omnibus law RUU Cika didengungkan untuk mempercepat dan mempermudah investasi sehingga menaikkan derajat Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan rendah ke menengah atau maju melalui ekonomi. Sehingga Omnibus law bercita-cita menyapu semua aturan dan menjadikannya satu aturan untuk mempermudah arus modal masuk. Izin-izin berusaha akan ditarik ke pemerintah pusat. Selama ini izin berusaha memerlukan permit berlapis dari bawah ke bupati, lalu naik ke gubernur, sebelum singgah di kementerian terkait di bidang usaha tersebut.
Ringkas kata, berapa jenis surat apakah rekomendasi atau izin untuk usaha tertentu sulit didapatkan kepastian apalagi waktu yang dibutuhkan dan yang pasti aroma permainan (KKN) menjadi variabel penting. Kalau tidak itu, kecil kemungkinan akan memperolehnya. Bahkan, Gubernur telah mengalaminya sendiri pada saat akan membangun “sport centre” di Sumatera Utara.
Jenis dan birokrasi perizinan itu secara teoritis/regulasi dengan praktik yang terjadi serta berbagai syaratnya sangat mengerikan seperti siang dan malam.
Inilah sebenarnya hambatan investasi di Indonesia. Kita mengapresiasi pemerintah yang melihat adanya permasalahan investasi ini. Patut diapresiasi pula, Pasal 110 RUU Cika (halaman 392), mencabut Staatsblad Tahun 1926 no. 226 jo. Staatsblad Tahun 1940 No. 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) yang merupakan peninggalan Belanda dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini.
Sayangnya, terhadap permasalahan inti investasi, alih-alih penindakan dan penegakkan hukum sehingga bersih KKN, namun jawabannya adalah omnibus law.
Sebagaimana yang diketahui melalui draft RUU Cika yang sudah diperoleh oleh kepala daerah, RUU Cika bisa melemahkan semangat desentralisasi administratif yang dimaksudkan untuk efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Wewenang pemerintah daerah yang sudah diatur sedemikian apik melalui beberapa peraturan perundang-undangan berkurang karena sejumlah pasal dalam omnibus law.
Selama ini pemerintah pusat berpendapat hambatan utama dalam investasi adalah karena kewenangan yang terdesentralisasi. Padahal bila dicermati lebih jauh, penyebab utama hambatan investasi ialah persoalan mental korup bukan melulu soal proses. Jadi pengambil alihan pemerintah pusat bukan menjadi jaminan bahwa penyebab hambatan investasi dapat diatasi.
Setidaknya terdapat dua poin utama yang menjadi alasan tergerusnya semangat otonomi daerah dalam RUU Cika yakni, Pertama, adanya penarikan kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara oleh pemerintah pusat, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin. Berbeda dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang telah mendelegasikan kewenangan tersebut kepada Pemda.
Kedua, potensi penarikan kewenangan perizinan dari pemerintah daerah ke pusat yaitu sentralisasi perizinan berimplikasi terhadap semakin menjauhkan pelayanan publik dan menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat terdampak. Dua hal ini dapat berakibat terhadap munculnya gangguan pelayanan publik, serta semakin sulitnya penyampaian aspirasi untuk mengkiritisi kebijakan pemerintah.
Baca Selanjutnya….(Page 3)