Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Sore kemaren saya dikejutkan oleh seseorang yang mengirim penyangkalan panjang tentang Ibnu Sina, demikian :
“Afwan, sangat banyak ulama salaf yang mentahzir Ibnu Sina, mulai dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim, Imam Ahmad, Ibnu Hazar Asqolani, Azzahbi sampai Syaik bin Baaz. Semua mereka menyebutkan beliau adalah syiah rafidah, qaramitah, ahlul kalam ahlul filsafah (ilmu sesat yg beujung kufur pada Allah Subhanallahu ta’alata’ala). Karena Ibnu Sina dianggap merujuk pada kaum kuffar seperti Aristoteles, Socrates, Plato, dan lain-lain.”
Dengan permohonan maaf saya ajukan pendapat dengan harapan bahwa jika pun tak berkenan dengan jawaban yang akan saya berikan hendaknya saya tidak langsung dikategorikan sebagai kafir atau pembela kafir atau orang munafik yang bersikap lunak terhadap kaum kafir.
Pertama, ibarat peta, seorang pribadi memiliki seluk-beluk dan ruang beragam sehingga terkadang sah utk disebut indah, mempesona dan menawan.
Tetapi sisi lain dari peta selalu ada yang mengerikan dan sekaligus membahayakan, misalnya jurang yang dalam, laut dengan ombak yang ganas, gunung berapi yang sudah berulang kali tercatat memuntahkan lahar.panas yang mematikan populasi besar manusia, ternak dan tetumbuhan.
Kedua, biografi seseorang malah bisa lebih buruk dari peta. Ketika Umar, misalnya, hanya dituturkan dari bagian kehidupan awal, saat belum masuk Islam, itu tentu tak selalu seindah hidup Ali. Tetapi seburuk apa pun itu, yakinlah itu bukanlah berarti selalu sebuah berita bohong. Seseseorang yang tidak ma’shum selalu berpeluang khilaf dan melakukan kesalahan dan itulah biografi.
Ketiga, iptek selalu memiliki apa yang disebut sebagai paradigma, yakni telaahan utama pada masa tertentu. Itu bisa sangat berbeda antara satu ke lain masa dan ada yang terus berkembang tanpa penyelesaian hingga kini. Misalnya kita tak perlu berselera menyalahkan salah satu atau keduanya dari penganut faham bumi datar atau bumi bulat. Biarkan saja mereka berargumen sepuasnya dalam bidang itu dan tidak perlu saling menyakiti satu sama lain.
Keempat, dalam kehidupan kita ini selalu ada usaha menunjukkan tokoh masa lalu itu Yahudi, Nashoro atau Islam. Namun kategorisasi yang kita buat tidak selalu sesuai dengan makna sesungguhnya pada al-Quran. Moshe Sharon menyadari hal ini dan meminta bahwa semua ajaran sejak Adam hingga Muhammad adalah Islam. Karena itu Islam bukanlah ajaran yang diturunkan era Muhammad saja, melainkan sejak Adam diciptakan di Surga. Hanya saja keislaman selalu beroleh tuntunan yang jelas meski umat terus menyimpang. Allah selalu memberi koreksi dengan rasul dan kitabNya. Begitu pulalah, misalnya, setelah Ibrahim, Ismail, Ishak, Musa dan Isa telah sangat banyak ajaran yang disimpangkan sehingga Allah menurunkan koreksi dan penyempurna melalui nabi terakhir Muhammad SAW.
Kelima, pada zaman kita sekarang masih terus hidup pertentangan antara lain dalam bentuk mazhab. Padahal mazhab itu adalah puncak pemikiran ijtihadi yang mestinya untuk memperkaya pilihan solusi belaka.
Keenam, perintah Allah sangat jelas: wa’tashimu bihablillahi jamia wa la tafarraqu. Jadi tak ada sunni dan syiah, dan apa pun itu harus mengacu kepada perintah Allah “Muhammadurrasulullah wallazdina maahu asyiddau alalkuffar ruhamau baynahum”.
Ketujuh, kepada semua kalangan penyimpangan itu saya selalu optimistik seperti cara Zakir Naik berdakwah: “Ajak semua ke jalan Allah. Ajak semua ke kalimah tunggal bahwa Lailaha illallah Muhammadurrasulullah“. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU