Beberapa waktu lalu, saya di kejutkan dengan pesan singkat via whatsat dari Dr. Ali Abubakar, MA “Assalamu’alaikum Taufik Riswan. Saya sedang menyusun rencana penulisan buku 10 Tahun Al Yasa Abubakar: Mengemas Syariat Islam di Aceh. Taufik sumbang satu tulisan ya. Al Yasa Abubakar di Mata Generasi Muda Muhammadiyah…” lalu beliau juga mengirimkan abstraksi buku yang akan diterbitkan tersebut.
Kesempatan menulis sosok tokoh dan pimpinan Muhammadiyah yang banyak memberikan inspirasi bagi penulis, tentu penulis respon dengan cepat dan positif. Apalagi, Prof Alyasa adalah orang yang selalu memberikan waktu terbaiknya dalam peningkatan kapasitas kader-kader Muhammadiyah.
Baik memalui berbagai kegiatan Organisasi Ortom Muhammadiyah melalui aktivitas diskusi, pengajian dan perkaderan, serta keikutasertaan penulis dalam menemani perjalanan dakwah beliau ke daerah-daerah, dari sinilah penulis mencoba merekan jejak pikiran beliau dalam kontek KeIslaman, KeMuhammadiyah dan KeAcehan.
Artikel singkat ini mengulas pemikiran dan refleksi Alyasa Abubakar, seorang ineteltual Muslim yang dikenal luas di dunia akademis dan tergabung dalam gerakan Islam moderen Indonesia termasuk di Aceh.
Sebagai sosok yang pernah memimpin Organisasi Muhammadiyah Aceh selama dua periode (2005-2010 dan 2010-2015), sampai dengan sekarang beliau dipercayakan sebagai pensehat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, dibawah kempimpinan Dr. Aslam Nur (Periode 2015-2020), di karena persoalan pandemik, yang kini dilanjutkan oleh Dr. Muharrir Asyari (2020-2022).
Sejak kepemimpinan Alyasa’ ruh gerakan keislaman dan wawasannya sangat mewarnai corak dakwah di Muhammadiyah Aceh. Jiwa keislamannya yang terbuka, dinamis, tidak anti dialog, dan peka terhadap persoalan keummatan, jadi tidak berlebihan jika penulis menempatkan pikiran keIslamannya menjadi ruh organisasi yang di pimpim beliau ketika itu.
Alyasa’ dalam Ranah Politik
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, bukan organisasi politik praktis. Kendatipun demikian kader-kader Muhammadiyah harus belajar dan mengetahui ilmu politik.
Al Yasa’ tampaknya ingin menegaskan betapa kontrasnya perbedaan dunia politik dengan dakwah, yang satu cendrung berpecah dan memecah, sementara dakwah merangkul dan mempersatukan.
Beliau sendiri sangat menyadari bahwa dakwah dan politik, bukan entitas otonom yang bisa berdiri sendiri, sebagai organisasi atau perkumpulan orang-orang yang memiliki kapasitas penggerak organisasi dan intelektual, tentu akan bergumul dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, hukum, keaaman yang semuanya dirumuskan dalam politik.
Maka ini juga yang penulis dapat pahami, mengapa Prof. Alyasa’ Abubakar menerima tawaran untuk menjabat sebagai Kepala Dinas Syariat Islam Pertama di Aceh (periode 2002-2007 dan 2007-2012)
Pada tanggal 25 Januari 2002, Prof Alyasa’ diangkat sebagai Kepala Dinas Syariat Islam Pertama di Aceh, dengan latar belakang seorang akademisi dan intelektual kampus UIN Ar Raniry Banda Aceh, Prof Alyasa’ juga sebagai Pimpinan Muhammadiyah di Aceh, ketika itu.
Paham keagamaan dan wawasan keislaman serta keteladanannya sangat dirasakan oleh hampir seluruh kader Muda Muhammadiyah. Dalam banyak kesempatan, Prof. Alyasa selalu menekankan pada substansi dan nilai-nilai islam yang universal daripada simbol-simbol formalistik.
Oleh karena itu, ketika muncul isu penerapan syariat islam di Aceh secara simbolik formalistik, ini tidak bertahan lama dan secara cepat berstransformasi menjadi nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Yang menarik dalam bacaan penulis, Prof Alyasa’ selalu memiliki narasi dan argumentaif ilmiah dan syar’i dalam menempatkan esensi moral dan prinsipil syariat islam di Aceh dengan nilai-niali etis persaudaraan dan kemanusiaan, tanpa mengesampingkan pesan etis yang bersumber dari agama-agama yang lain.
Sehingga penegakan syariat islam di Aceh, tidak serta merta menghilangkan kultur dan entitas agama-agama lainya, justru bersama-sama pesan nilai luhur agama dijadikan pondasi dasar moral dan etis bagi kehidupan bermasyarakat di Aceh. (*)
Taufik Riswan Alue Bilie, Ketua Umum PD. Pemuda Muhammadiyah Kota Banda Aceh
Prof. Alyasa, tokoh Muhammadiyah yang selalu memberikan pencerahan