Covid-19 benar-benar memorak-porandakan tatanan dunia yang terlanjur mapan. Padahal, makhluk ini kecil benar: tak kasat mata, tak punya otak, tak punya akal. Namun, konsekuensinya dahsyat. Ekonomi minus, jadwal politik mesti dihitung ulang, sendi kesehatan kalang kabut, dan seterusnya.
Yang paling gawat, dia telah menggoyang eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Penerapan jarak fisik, jarak sosial, untuk mencegah penyebaran dan penularan, telah membuat manusia harus berjauhan, tidak bersentuh fisik. Tidak hanya bersifat interpersonal melainkan juga di tingkat komunitas untuk menghindari penyebaran di level masyarakat. Dan sialnya, itu pula yang sedang terjadi saat ini.
Jarak fisik sosial ini tak ayal merupakan guncangan hebat. Meski, ironis. Sebelum ini, manusia akrab betul bermedia sosial. Seluruh aktivitas, pikiran, perasaan, bahkan pertemuan kelompok kecil dan besar digelar melalui grup-grup di media sosial. Tertawa dan terbahak, terkekeh, menangis dan sebagainya, cukup diwakilkan melalui emoticon yang sudah disediakan aplikasi medsos. Kita tidak tahu, apakah dia benar-benar terbahak atau hanya diam ketika mengetik tombol emoticon itu di gadget-nya.
Fenomena di era post-modern terutama pasca booming-nya dunia informasi teknologi dan komunikasi, di saat internet menyebar tidak hanya lewat komputer pribadi melainkan lebih jauh ke ruang privat. Bahkan kita juluki dia telepon “pintar”.
Produksi dan distribusi ekonomi dikampanyekan secara masif via revolusi industri 4.0 (IR4.0) dan itu bakal berlanjut. Tampak sekali ada kebanggaan manusia ketika berbicara soal itu. Hampir seluruhnya dikaitkan dengan IR4.0. Dia menjadi target, tujuan pribadi, kelompok, organisasi hingga di skala negara dan dunia. Bahkan, kadang pembicaraan itu terlampau jauh, misalnya bagaimana pula syariat-syariat keagamaan seperti pernikahan dapat diakamodir oleh internet dan segala pasukan-pasukannya.
Sekali lagi, ada nada kebanggaan ketika mendiskusikan itu. Dan ketika ada pandangan berbeda, justru ditanggapi dengan sumbang. Juga ada nada pejoratif seperti kelompok kolot, ketinggalan zaman, tradisional, dan macam-macam.
Dan makhluk tak kasat mata itu pun datang. Tiba-tiba semua yang bersifat online menjadi “wajib” karena adanya larangan jarak fisik dan sosial. Bila dulu masih bersifat “kerelaan” ataupun karena ketidakmampuan melawan determinasi budaya baru, kini, dia sudah diinstitusikan. Segala kebijakan dan propaganda dikeluarkan yang pada intinya melarang pertemuan fisik. Kehidupan sosial pun dilaksanakan via online alias dalam jaringan (daring).
Mula-mula tak nampaklah penolakan, malah seakan-akan dunia daring mendapat justifikasinya. Namun, lama-kelamaan, kodrati kemanusiaan mendesak kuat laksana gelombang air yang disumbat terus-menerus. Manusia gelisah terus di rumah. Kita rindu melihat kerlingan mata, senyum simpul, nada keras atau berbisik ketika berbicara. Kita rindu merasakan hangatnya tangan teman ketika berjabat erat dan mencium minyak wanginya. Meski melalui handphone kita dapat mendengar suara kekasih kita seakan-akan dia berada di samping telinga kita, kita pun paham kalau hal itu tak dapat mengalahkan pertemuan langsung dengan kekasih kita itu. Dan seterusnya, dan seterusnya. Pada pokoknya, kita rindu benar menjadi manusia kembali.
Rindu ini tampaknya berketerusan dan boleh jadi berubah menjadi kemarahan. Manusia tetaplah manusia. Dia memang bukan bilangan angka, bukan data. Kini, siapa pula tak membenci makhluk bernama corona itu. Kalaulah makhluk ini kelihatan, kalaulah saja dia sebesar lutung, sudah pasti bakal digebuk orang sekampung. (*)
Nirwansyah Putra, Dosen FISIP UMSU