Situasi di kota Makkah makin menjadi tidak kondusif bagi umat Islam, karena orang-orang kafir Quraisy terus meningkatkan intimidasi dan penindasan terhadap mereka.
Namun, Sumpah Aqabah Kedua mengarah pada pendirian negara Muslim di Madinah; dan tak lama kemudian, Nabi Muhammad SAW memberikan izin kepada umat Islam untuk hijrah.
Tak bisa dipungkiri, proses Hijrah dari Mekkah ke Madinah bukan saja menuntut pengorbanan harta, tapi juga siap menantang bahaya, karena para muhajirin sangat mungkin dirampok atau bahkan dibunuh di sepanjang jalan.
Kendati demikian, kaum Muslim tetap melakukan Hijarah. Sementara kaum musyrik terus berupaya dengan segala cara untuk menghentikan mereka, karena mereka khawatir nantinya bahwa pendirian egara Islam yang kuat di Madinah pasti akan menjadi ancaman besar bagi mereka.
Sejarah mencatat, hampir semua Muslim di Makkah telah berangkat ke Madinah, kecuali Abu Bakar (Sahabat terdekat Nabi), Ali ibn Abi Thalib (sepupu Nabi), Nabi sendiri, dan jiwa-jiwa mulia tak berdaya yang telah ditahan di kurungan, atau tidak bisa melarikan diri.
Dalam waktu dua bulan setelah Sumpah Aqabah Kedua, seluruh penjuru Mekkah telah ditinggalkan, dan bahkan kaum Muslim yang sebelumnya melarikan diri ke Abyssinia kembali ke Madinah untuk bergabung dengan kaum Muslim lainnya di sana.
Selama waktu ini, Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali sedang melakukan persiapan yang diperlukan untuk hijrah. Pada malam perjalanan mereka, orang-orang kafir telah merencanakan untuk membunuh Rasulullah. Mereka menempatkan banyak orang dari berbagai suku di sekitar rumah Nabi untuk secara beramai-ramai membantainya.
Namun, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan memberitahunya tentang rencana mereka.
Lantas, dengan sangat rahasia, Rasulullah pergi ke rumah Abu Bakar dan memberitahunya bahwa Allah SWT telah memberi mereka izin untuk meninggalkan Mekah.
Abu Bakar memang telah mengharapkan kesempatan untuk menemani Nabi dalam perjalanannya ketika waktu yang ditentukan tiba, dan dia telah menyiapkan dua tunggangan untuk kesempatan tersebut.
Dia memberi tahu putrinya Asma’ bahwa mereka akan pergi, dan dia mulai menyiapkan makanan dan minuman untuk perjalanan mereka dalam tas kulit.
Namun, ketika dia pergi untuk mengikat tas ke tunggangannya, dia menemukan kesulitan, ia tidak memiliki apa-apa selain ikat pinggang untuk mengikatnya. Lalu Abu Bakar mengatakan kepada putrinya bahwa dia harus merobeknya menjadi dua dan menggunakannya untuk mengikat tas. Itulah mengapa kemudian Abu Bakar memberinya nama “Dhat an-Nitaqayn” atau “dia dengan dua ikat pinggang.
Saat itu, Asma’ masih muda, berusia kurang lebih 27 tahun. Menyadari kesulitan yang mungkin dihadapi dalam perjalanan mereka, Abu Bakar membawa semua hartanya dan tidak meninggalkan apa pun untuk keluarganya.
Asma’ sendiri bukannya tidak menyadari bahwa situasi memang gawat. Dia dibiarkan bertanggung jawab atas adik-adiknya tanpa uang di tangan. Dan dia juga sadar jika orang-orang kafir mengetahui kabar kepergian ayahnya dengan Nabi, maka dialah yang akan jadi sasaran murka mereka.
Bagi sementara orang mungkin akan mempertanyakan, bagaiman bisa seorang ayah tega meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan seperti itu, tanpa meninggalkan bekal yang cukup untuk mereka.
Namun, Asma’ tidak menunjukkan sedikitpun rasa khawatir atau takut. Sebaliknya, tindakannya mencerminkan kedalaman keimanan dan kepercayaannya kepada Allah SWT.
Bahkan, setelah kepergian ayahnya bersama Rasulullah datanglah kakeknya Abu Quhafah. Sang kakek telah mendengar bahwa putranya Abu Bakar telah beremigrasi dan telah membawa semua uangnya. Lalu sang kakek bertanya kepada cucunya Asma’, apakah benar bahwa ayahnya telah meninggalkan mereka dan membiarkan mereka tanpa uang pegangan yang cukup.
Karena kakeknya adalah seorang kafir, dia tidak dapat memahami bahwa bagi Asma’ dan saudara-saudaranya, berkorban demi Allah SWT adalah suatu kehormatan. Keyakinan mereka kepada Allah sudah cukup bagi mereka.
Dengan cerdas Asma menjawab: “Tidak benar kek. Sesungguhnya ayah telah meninggalkan uang yang cukup untuk kita!”
Untuk meyakinkan kakeknya, Asma kemudian mengeluarkan beberapa batu kerikil yang menyerupai dinar dan menaruhnya di pot yang ditutupi kain dan menuntun tangannya ke pot, sehingga sang kakek akan percaya bahwa itu penuh dengan uang.
Seperti diketahui, orang-orang kafir mengepung sepanjang malam di luar rumah Nabi untuk melaksanakan rencana mereka untuk membunuhnya. Namun, tanpa diketahui mereka Nabi sudah pergi. Setelah matahari terbit baru mereka menyadari bahwa yang mereka intai telah melarikan diri dan taka da lagi di tempat.
Mengetahui buruan mereka sudah lolos, pemimpin orang-orang kafir Abu Jahal murka dan bergegas menuju rumah Abu Bakar. Dia menggedor pintu dengan keras. Setelah pintu dibuka oleh Asma, dengan nada kasar mengintrogasi Asma’ prihal keberadaan ayahnya.
Asma’ menyadari bahwa satu kata yang keluar dari mulutnya bisa menyebabkan bahaya besar menimpa Rasulullah SAW dan ayahnya, maka Asma’ hanya diam dan tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya selain, “ Aku tidak tahu.”
“Di mana Muhammad dan Abu Bakar?” tanya Abu Jahal yang diselimuti amarah.
“Mengapa kau bertanya padaku? Sejak kapan seorang laki-laki Arab memberitahu kepada anaknya ke mana ia pergi. Bukankah Abu Bakar berdagang ke banyak tempat tanpa memberitahuku?” jawab Asma’ dengan tenang dan tak sedikitpun rasa takut tampak dari wajahnya terhadap Abu Jahal.
Mendengar jawaban Asma’, Abu Jahl menjadi marah dan menampar wajahnya dengan keras, hingga membuat anting-antingnya coput berserakan.
Sungguh sebuah momen yang kritis. Seandainya Asma menjadi takut dan buka mulut tentang keberadaan Rasulullah dan ayahandanya, boleh jadi misi hijrah Nabi ke Madinah akan digagalkan.
Namun, seperti ayahnya, Asma’ memiliki keyakinan dan keyakinan yang kuat, dengan tegar ia menghadapi salah satu orang kafir yang paling ditakuti di Makkah.
Tidak lama kemudian, Abu Jahal dan kawanan kafir Quraisy meninggalkan rumah Abu Bakar dengan perasaan penuh kecewa.
Asma’ bukan cuma mengetahui posisi dimana Rasulullah dan ayahanndanya berada, ia juga punya empati yang luar biasa. Pada malam harinya, dia masih menyempatkan diam-diam pergi melakukan perjalanan yang panjang dan berbahaya untuk membawa makanan kepada Nabi dan ayahnya yang bersembunyi di gua Tsur.
Terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah seorang wanita muda dan hamil pada saat itu, namun Asma’ bersedia melakukan perjalanan berbahaya ini. Ini bukti Asma’ adalah sosok perempuan tanggug dan cerdas. Ia begitu cermat dan penuh perhitungan dalam merencanakan setiap detail misinya, sehingga ia bisa menyiasati ia tidak akan diikuti atau dideteksi oleh kafir Quraisy.
Bercermin pada peristiwa Hijrah Nabi ke Madinah, Asma binti Abi Bakar adalah contoh iman yang bersinar, bersandar pada Allah SWT, dan keberaniannya layak untuk dijadikan contoh oleh semua umat Islam.
Terlepas dari karunia seratus unta yang telah ditetapkan oleh orang-orang kafir untuk siapa saja yang akan menangkap kembali Nabi hidup atau mati, Allah SWT menghendaki bahwa dia akan sampai ke Madinah dengan selamat berkat bantuan salah satunya dari wanita muda pemberani ini.
Asma’ mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri untuk membantu Rasulullah dalam melakukan hijrah yang menandai dimulainya era baru, peradaban baru, dan meninggalkan jejaknya tidak hanya pada sejarah Islam setelahnya, tetapi juga pada sejarah umat manusia. (*)