TAJDID.ID || Ketua Umum Pimpinan PusatMuhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah telah mengambil peran dalam problema covid-19. Muhammadiyah telah berusaha melakukan ijtihad keagamaan supaya solutif atas segala persoalan.
Kendati demikian, menurut Haedar langkah strategis yang ditempuh oleh Muhammadiyah tidak mudah. Mengingat dikalangan internal umat Islam sendiri, ditinjau dari aspek sosiologisnya, cara beragama mereka juga beragam.
Menurutnya, dari cara pandang umat Islam terhadap konteks atau realitas yang dihadapi, mereka bisa dikelompokan menjadi qodariyah, jabariyah, dan puritan. Sebagai firqah Islam, corak berfikir kelompok-kelompok tersebut masih banyak dianut oleh sebagian kalangan umat Islam dalam memandang realitas sosialnya.
Banyaknya panorama corak pandang keagamaan di kalangan umat Islam menyebabkan penyelesaian atas persoalan tidak mudah. Haedar mencontohkan, ketika Muhammadiyah berijtihad untuk menutup masjid sebagai usaha mencegah dan memotong penyebaran virus covid-19, banyak mendapat pertentangan.
“Untuk yang salat tarawih saja bahkan ada yang melompat pagar, baik yang bapak-bapak maupun ibu-ibu. Jadi kita susah membayangkan sebenarnya apa yang terjadi dengan umat kita,” tutur Haedar dalam acara Webinar Nasional dalam Rangka Dies Nataliske 55Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) padaRabu(15/7).
Dalam persoalan wabah penyakit, Muhammadiyah berperan lebih progresif. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah memiliki sumber daya yang bisa dihadirkan untuk solusi permasalahan tersebut. Pengalaman tersebut terekam jelas dalam memori kerja Muhammadiyah, melalui sumber daya resourcebidang kesehatan yang diterjunkan secara langsung untuk menangani masalah tersebut.
“Persoalan pandemi bukan sederhana, tapi menyangkut kemanusiaan, menyangkut nyawa. Satu nyawa sama dengan seluruh nyawa umat manusia. Sehingga kami mencari solusi, karena agama itu adalah sebagai solusi,” tambahnya.
Usaha memahami agama melalui kacamata Muhammadiyah dilakukan melalui perspektif bayani, burhani, dan irfani. Perspektif holistik ini menjadikan ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah bukan hanya memerhatikan sisi keTuhanan saja, melainkan segala sesuatu yang diputuskan oleh Muhammadiyah juga memiliki sisi kemanusiaan, lingkungan secara menyeluruh.
Haedar menegaskan, jangan sampai lagi ada anggapan atau pembiaran terhadap korban meninggal akibat covid-19 dan lebih mengutamakan sektor lain untuk tetap hidup. Ia menyebut cara pandang seperti ini sebagai perspektif yang sadis. Pikiran pragmatis seperti ini harus dihalau dari kehidupan sosial dan kebangsaan Indonesia.
Terakhir, Haedar meminta kepada pemimpin negeri ini untuk memiliki moralitas dan integritas, mereka harus bisa mengutamakan yang terpenting dari yang penting.
Ia juga menyinggung sikap arogan yang dimiliki para elit, di mana salah satunya adalah arogansi terkait pembahasan RUU di saat masyarakat dibelit segala macam persoalan terlebih di masa pendemi seperti sekarang ini.
“Pandemi ini serius, dan negara-negara besar begitu seriusnya. Kok kita masih berani bertaruh kebijakan soal seperti ini yang menyangkut nyawa rakyat,” tegasnya.
“Bahwa moralitas kekuasaan itu juga berkaitan dengan teologis. Jadi siapapun yang diberi amanat oleh rakyat itu ada pertanggungjawaban ilahiyah. Bahwa di atas langit ada langit, bahwa di atas keputusan-keputusan politik ada ruhani kebangsaan yang perlu kita jaga. Jangan sampai kita mengundang marah Tuhan, karena tidak membela derita rakyat,” pungkasnya.(*)
Sumber: muhammadiyah.or.id