TAJDID.ID-Medan || Fakultas Hukum UMSU bekerjasama dengan Fakultas Hukum UMA, Fakultas Hukum UMJ, Fakultas Hukum Universitas Quality dan PUSKASI UMSU menggelar Dialog Konstitusi dan Anti-Korupsi (DISKUSI) “Quo vadis Keadilan Ekologi dalam UU Minerba” secara virtual via aplikasi Zoom, Jum’at (03 Juli 2020).
Dipandu oleh M Yusrizal Adi Syaputra (Dosen FH UMA), kegiatan DISKUSI menampilkan empat pembicara, yakni Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum (Dosen FH UMSU), Dr Ibnu Sina Chandranegara (Lektor Kepala FH UMJ), Dr Ricca Anggraini SH MH (Dosen FH Universitas Pancasila), M Ilham F Patuhena SH MH (pemerhati hukum minerba).
Dalam sambutannya, Wakil Dekan I Zainuddin SH MH mengucapakan terimakasih kepada FH UMA, FH UMJ, FH Universitas Qualiti dan PUSKASI UMSU atas kerjasamanya menyukseskan acara ini.
Zainuddin mengatakan, tema yang diangkat dalam webinar kali ini senafas dengan banyaknya pernyataan dari berbagai pihak tentang lahirnya UU Minerba
“Membicarakan Minerba bukan hanya membicarakan daerah-daerah yang mempunyai SDA melimpah, namun soyogianya diperuntukkan sebebsarbesarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,” katanya.
Lebih lanjut dituturkannya, sesungguhnya harapan rakyat terhadap UU Minerba ini adalah mewujudkan apa yang diamanahkan konstitusi bukan malah mengkhianati bahkan bertentangan dengan konstitusi.
“Kekayaan alam kita yang seharusnya diurusi oleh negara, bukan diserahkan kepada pihak lain yang tujuannya tidak lain hanya untuk dieksploitasi semata,” sebutnya.
Melemahnya Fungsi Legislasi
Tampil sebagai pembicara pertama, Dr Ibnu Sina Chandranegara SH MH membawakan tema “Melemahnya Fungsi Legislasi, Suatu Refleksi UU Minerba”.
Dalam paparannya, ia mengatakan diskursus publik yang seharusnya selesai dalam pelaksanaan fungsi legislasi justru akan bergulir ke peradilan (MK)
“Akibat persoalan formil-materil,maka proyeksi pengujian konstitusionalitasnya beresiko tinggi akan dibatalkan,” ujarnya.
Dijelaskannya, terkait UU Minerba ada dua persoalan, yakni persoalan formil dan persoalan substansi.
Persoalan Formil misalnya, tidak memenuhi kriteria carry over sesuai Pasal 71A UU 15/2019.
Kemudian Ketiadaan peran DPD RI sesuai Pasal 22D UUD 1945 dan Putusan MK No.92/PUU- X/2012
“UU Minerba juga disinyalir melanggar asas keterbukaan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 5 UU No.12/2011,” sebutnya.
Adapun persoalan substansi, diantaranya tentang perpanjangan KK dan PKP2B menjadi IUPK tidak sejalan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945
Kemudian, tiadanya prioritas BUMN dan BUMD dalam pengusahaan KK dan PKP2B bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.
“Termasuk tentang perizinan usaha minerba yang sentralistik tidak sesuai dengan Pasal 18A UUD NRI 1945,” katanya.
Naskah Akademik
Sementara itu dalam paparannya, Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum menyoroti UU Minerba dari Optik Pancasila. Ia menilai, UU Minerba sejak awal sudah sarat dengan persoalan, diantaranya falsafah Pancasila tidak tegas dalam Naskah Akademik (NA) RUU Minerba.
Menurut Abdul Hakim, NA UU Minerba hanya menonjolkan investasi, karena izin pemilik modal akan berakhir dan bila mengacu pada regulasi lama hal ini akan berpindah kepada BUMN sebagai alternatif pilihan)
“Perubahan hanya untuk membuat jaminan terhadap perpanjangan izin-izin pemilik modal. Hal ini Bertentangan dengan Prinsip Pasal 33 UUD 1945,” sebutnya
Sumirnya pendekatan filsafat dan empirik yang hanya menonjolkan kepentingan pemilik, maka aspek yuridis yang melahirkan draft tergambar pesanan dari investor pemilik tambang-tambang ini;
“Padahal masalah sesungguhnya dari aktivitas minerba terdapat pelanggaran dari hulu ke hilir, seperti pelanggaran lingkungan dan alih teknologi,” katanya.
Adapun M Ilham F Patuhena SH MH dalam paparannya mengungkapkan bagaimana sejarah regulasi terkait pertambangan di Indonesia, mulai dari zaman kolonial, Orla, Orba dan era reformasi hingga hari ini.
Dikatakannya, secara politik hukum bangsa ini memiliki tiga landasan pokok terkait pertambangan, yaitu Pancasila (sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian diturunkan dalam tujuan Negara seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi “Melindungi setiap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”
Selanjutnya dijabarkan lagi pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Secara khusus, ia juga membahas terkait aspek perpanjangan pengelolaan pertambangan.
Dijelaskannya, UU No 4 2009 mengatur perpanjangan IUP dengan menggunakan frasa “dapat diperpanjang”. Sedangkan Perpanjangan KK dan PKP2B tidak diatur di UU No 4 2009, tapi diatur dalam PP 24 Tahun 2012, PP 1 Tahun 2014, PP 77 Tahun 2014, PP 1 Tahun 2017 dan PP 8 Tahun 2018.
Adapun Dr Ricca Anggraini SH MH dalam paparannya mengupas istilah quo vadis.
Secara historis, kata Ricca, quo vadis diartikan sebagai “kemana engkau pergi”. Ungkapan ini digunakan oleh St. Petrus kepada Yesus untuk bertanya.
“Oleh karenanya patut dipertanyakan, apakah dalam konteks UU Minerba ini, kita harus kalah, mengakui kekurangan dan tidak bertanggung jawab sehingga menyerahkan kepada si empunya kewenangan yang membentuk UU?,” kata Ricca (*).