TAJDID.ID-Medan || Pakar Hukum Internasional Unpad, Prof. KH. Atip Latiful Hayat SH LLM PhD mengatakan, bahwa masalah Tenaga Kerja Asing (TKA) itu terkait dengan paradigma ketatanegaraan, karena memang satu negara tidak bisa terlepas dari relasinya dengan negara lain.
Untuk Indonesia, Prof Atip mengungkapkan, bahwa di dalam konstitusi UUD 45 hanya ada 1 pasal yang mengatur soal hubungan internasional, yakni Pasal 11 UUD 45.
“Mengapa cuma 1 pasal? Hal ini disebabkan para fonding father kita memiliki sikap yang sangat hati-hati terhadap asing, karena pengalaman bangsa Indonesia sebangai bangsa yang pernah dijajah,” ungkapnya dalam acara Webinar Nasional: “Kontroversi Kedatangan TKA Pada Masa Pandemi Dalam Perspektif Ketatanegaraan” yang digelar Masyarakat Hukum Tata Negara (MAHUTAMA) pada Sabtu (16 Mei 2020) jam 13.00-15.00 WIB
Kemudian, lanjutnya, ada satu hal yang harus dipahami, terutama kaitannya dengan mengapa demikian sensitifnya soal TKA dari China.
Prof Atif menegaskan bahwa hal ini sama sekali masalah rasisme, tapi lebih kepada masalah dominasi dan hegemoni, yang mana pemerintah itu tidak paham atau tidak mau tahu. Hingga akhirnya ada kesan jika menyebut China langsung dituding rasis, pada hal ini lebih persoalan dominasi dan hegemoni.
“Dan yang namanya kolonialisme aqidahnya adalah dominasi. Artinya, tidak ada kolonialisme tanpa dominasi,” tegasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam hukum internasional ada beberapa prinsip yang harus dipahami.
Pertama prinsip reciprocity. Artinya dalam relasi internasional itu harus timbal balik yang kemudian diikat dalam hukum. Tidak boleh pemerintah melakukan satu relasi internasional dengan mengabaikan reciprocity.
“Nah, sekarang terkait TKA dari China reciprocity-nya tidak ada, apakah tenaga kerja kita kesitu, tidak ada. Bahkan yang terjadi pada proyek China itu semua dari mereka, mulai dari alatnya dan orangnya. Jadi sebenarnya kita tidak sedang membangun ekonomi nasional, tapi sedang menonton,” sebutnya .
Kedua, asas non-permenbelity, artinya tidak boleh ada kedaulatan kita yang dimasuki. Asas non-permenbelty itu sudah sangat sensitif sekali, apalagi dalam kondisi pandemi sekarang ini.
“Apa yang terjadi sangat menonjok perasaan. Disaat rakyat di suruh di rumah saja, 500 TKA China justru mau dibiarkan masuk begitu saja tanpa ada penjelasan yang rasional. Mereka pikir rakyat Indonesia itu bodoh,” tukasnya.
Satu lagi yang penting diketahui, kata Prof Atif, adalah watak negara (state behaviour) China itu dalam berhukum internasional tidak mau dalam kerangka multiliteral. Artinya, China lebih suka dengan hubungan bilateral dengan mengandalkan stick and carrot.
“KIta tentu masih ingat dengan kasus perseteruan China dengan Filipina soal Laut China Selatan. Waktu itu China begitu marah kepada Filipina, karena adanya indikasi campur tangan negara lain (Asean). China ingin menyelesaikan peroalan mereka secara bilateral, dan akhirnya dia menggunakan stick and carrot untuk memecahbelah Asean,” jelasnya.
Prof Atif mengingatkan supaya Indonesia berhati-hati berhubungan dengan negara yang state behaviour cenderung lebih menyukai bilateral dan mengandalkan stick and carrot.
“Karena nanti suatu saat jika Indonesia ingin menunjukkan independensi dan kedaulatannya, maka ia akan mainkan carrot-nya,” katanya.
Namun meskipun demikian, kata Prof Atip, bukan berarti kemudian TKA itu menjadi haram. Menurutnya ada 3 filosofi TKA yang mesti dipenuhi, yakni mendatangkan investasi, alih teknologi dan alih keahlian.
“Pertanyaanya kemudian, apa betul terkait dengan investasi? Apa lagi dalam kondisi pandemi sekarang. Kemudian alih teknologi, saya rasa itu cuma bunga-bunga bahasa yang sampai sekarang tidak pernah ada. Terlebih terkait proyek China itu bukan alih teklnologi namanya, buktinya orang-orangnya pun berasal dari china semua . Kemudian alih keahlian, apanya alih keahlian? Faktanya TKA yang datang itu cuma buruh kasar,” ungkapnya.
Rakyat Indonesia Pekerja Keras
Selain itu, Prof Atif menilai, pemerintah sepertinya kurang memahami kondisi yang sebenarnya terjadi, dimana potret ekonomi dalam negeri sudah sedemikian dikuasai oleh kelompok tertentu.
Tapi menurutnya itu tidak masalah. Justru yang jadi masalah adalah stigmatisasi yang mendiskreditkan rakyat Indonesia tidak pekerja keras atau pemalas.
“Rakyat Indonesia sangat pekerja keras dan tidak pemalas. Tapi regulasi tidak memberikan proteksi. Menurut saya tidak ada keberesan dalam konteks ekonomi nasional itu tanpa ada peran regulasi dari pemerintah yang memberikan peluang untuk itu,” sebutnya.
“Mereka tidak paham sekeras apapun kita bekerja, tapi kalu regulasi mengkerangkeng tidak akan mungkin berkembang. Apakan dengan UU Minerba yang penuh kontroversi yang kemaren diputuskan, rakyat Indonesia akan mendapatkan apa dari situ ? Tidak dapat apa-apa sama sekali,” tambahnya.
Kemudian Ia membandingkan yang berlaku di Malaysia, dimana pemerintahnya membuat new economy policy dengan memberikan semacam privilege kepada bangsa Melayu
“Itu diperlukan, supaya ada keadilan yang proporsional dalam berkompetisi dan itu bukan sebuah diskriminasi. Hukum itu mengenal eksepsi dan eksepsi itu dibuat dalam rangka proteksi,” tegasnya.
Diakhir paparannya, ia menghimbau pemerintah dalam bernegara menggunakan manajemen yang rasional.
“Jangan menganggap rakyat itu bodoh murakkab, artinya menganggap rakyat itu kepentingannya cuma soal perut semata,”tutupnya. (*)