Site icon TAJDID.ID

Prof Syaiful Bakhri: Judicial Review Perppu Covid-19 Sudah Memenuhi Persyaratan

Syaiful Bakhri, Rektor UMJ dan Ketua Tim Hukum Judicial Review Perppu No 1 Tahun 2020. (Foto: radarkotanews)

TAJDID.ID-Medan || Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Dr Syaiful Bahri Bakhri SH MH mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Coronavirus Disease 2019 sesungguhnya sudah memenuhi segala persyaratan untuk dilakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi

“Alasannya syarat kegentingan yang memaksa penerbitan Perppu tidak terpenuhi dalam penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020,” ujarnya dalam acara diskusi online Webinar MAHUTAMA (Masyarakat Hukum Tata Muhammadiyah), Sabtu, 11 April 2020.


Berita terkait: Webinar MAHUTAMA: Perppu Covid-19 Kontroversial


Ketua Tim Hukum Judicial Review Perppu No 1 Tahun 2020 ini menjelaskan, bahwa keadaan ‘kegentingan yang memaksa’  menurut Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan COVID-19, sedangkan dalam hal Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional, tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa.

Dikatakannya, dasar Konstitusional penerbitan Perppu adalah Pasal 22 UUD 1945, yang menetukan adanya prasyart ‘kegentingan yang memaksa’. Makna keadaan ‘kegentingan yang memaksa’ dijabarkan lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 138/PUU-VII/2019.

Substansi Perppu No 1 Tahun 2020 sendiri meliputi dua hal, yakni soal penangan COVID-19 dan ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional.

“Akan tetapi secara substansial, Pasal-Pasal dalam Perppu hanya mengatur antisipasi terhadap Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional,” sebutnya.


Berita terkait: Kritisi Pasal 27 Perppu Covid-19, Iwan Satriawan: “Darurat Yes, Imunitas No” 


Ia juga mengungkapkan, bahwa Pasal 2 Perppu No 1 Tahun 2020 juga bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945.

Pasal 2 Perppu memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menetapkan Defisit Anggaran melampaui 3% PDB untuk Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022. Menurut Syaiful hal ini menyebabkan bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945, karena APBN bersifat periodik, yakni ditetapkan setiap satu tahun anggaran. Sementara PERPPU menjangkau APBN sampai Tahun Anggaran 2020, dimana UU APBN TA 2021 dan UU APBN TA 2022 sendiri belum ada Undang-Undangnya.

Menihilkan Persetujuan DPR sebagai hakikat Anggaran Negara, karena sejak awal telah ada prasyarat selisih Pendapatan dan belanja (defisit) yang dipatok di atas 3% PDB;

“Substansi APBN termasuk perkiraan Defisit, menurut Pasal 23 UUD 1945 hanya bisa diatur dengan Undang-Undang dan bukan PERPPU,” tegasnya.

 Bersambung….( Page 2 )

Eksekutif Jadi Lepas Kontrol

Syaiful juga menyebut, bahwa Perppu No 1 Tahun 2020 berpotensi menjadikan eksekutif (Pemerintah) tanpa kontrol dan melampaui kewenangan. Menurutnya Perppu telah memangkas kewenangan 3 lembaga sekaligus, yakni DPR, BPK, dan Kekuasaan Judicial.

“Pasal 2 Perppu memangkas fungsi ontroling (pengawasan) dan fungsi budgeting (Anggaran) DPR. Pasal 27 Perppu memangkas fungsi auditing (Pengawasan teknis keuangan anggaran negara) BPK. Dan Pasal 27 Perppu memangkas kewenangan judicial Peradilan, karena tidak bisa menjangkau segala penyalahgunaan keuangan yang dikeluarkan dalam rangka penanganan COVID-19,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Syaiful, substansi Perppu No 1 Tahun 2020 juga bertentangan dengan berbagai UU, diantaranya;  UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, karena terjadi perbedaan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara dan Pasal 27 PERPPU;

Kemudian, UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Karena terjadi perbedaan ruang lingkup kewenangan BPK dengan PERPPU yang membuat laporan keuangan menjadi lunak

Selanjutnya Pasal 28 Perpu bertentangan dengan sejumlah UU, diantaranya: UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 17 Tahun 2004 tentang MD3 dan UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Keuangan.

Bersambung….(Page 3)

Dampak Pelaksanaan Perppu

Menurut syaiful, Secara sosial akan terjadi berbagai dampak yang ditimbulkan apabila Perppu No 1 Tahun 2020 dijalankan.

Pertama, dampak terhadap Anggaran Negara yang akan semakin tergerus untuk membayar pinjaman luar negeri, karena terbukanya peluang untuk memperbesar jarak defisit.

Kedua, secara politik internasional, Indonesia akan kehilangan kemandiriaanya dihadapan negera-negara pemberi hutang, karena akan jumlah pinjaman yang tidak terkendali.

Ketiga, akan terjadi gejolak sosial sebagai akibat tergoncangnya perekonomian nasional yang menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.

Keempat, stabilitas politik dalam negeri akan ikut tergoncang, sebagai dampak lanjutan dari potensi krisis dibidang perekonomian;

Kelima, kewibawaan penyelenggara negara akan tergerus, sebagaimana pengalaman-pengalaman krisis tahun 98.

Bersambung…. (Page 4)

Skema Tanpa Harus Perppu

Namun, Syaifiul mengungkapkan, bahwa sebenarnya ada skema anggaran dalam keadaaan darurat tanpa harus Perppu

Menurutnya, tanpa PERPPU sekalipun, Pasal 27 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menyediakan dua cara pelaksanaan APBN tantang Perlu menggunakan PERPPU.

Pertama, adalah melalui skema UU APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) dalam Pasal 27 ayat (3), yang dapat dilakukan dengan terlebidahulu mendapatkan persetujuan DPR. Skema ini dapat dilakukan apabila terjadi kondisi: (a) Terjadi Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi APBN; (b) Perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal; (c) Keadaan yang harus melakukan pergeseran anggaran; (d) Keadaan menggunakan saldo lebih tahun sebelumnya

Kedua, adalah skema UU APBNP dalam keadaan darudat (Pasal 27 ayat (4). Skema ini memungkinkan pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran yang belum tersedia pagunya untuk menanggulangi keadaan darurat, tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebidahulu. Persetujuan dapat dimintakan kemudian setelah realisasi anggaran.

“Skema yang kedua ini dapat ditempuh untuk menaggulangi parmasalahan COVID-19 saat ini,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version