TAJDID.ID-Medan || Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (PWM Sumut) Dr Muhammad Qorib MA mengatakan, tantangan dakwah Islam dewasa ini makin besar. Salah satu problem yang menjadi tantangan dakwah itu adalah makin berkembangnya komunitas ateis dan agnostik di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
“Ini persoalan serius. Data terakhir mencatat, dari 7 milyar penduduk planet ini, kabarnya 1.5 miliar adalah ateis. Dan yang lebih mengejutkan lagi di Indonesia jumlah mereka sudah mencapai sekitar 3 ribu orang, sebagian besarnya adalah mahasiswa,” ujarnya ketika tampil sebagai pembicara dalam acara Seminar Memperkuat Peran Pemuda Mencegah Radikalisme dan Terorisme:”Islam Bukan Agama Terorisme” yang diadakan PWPM Sumut bekerjasama dengan FAI UMSU di Aula Kampus Pascasarjana UMSU, Jalan Denai No 217 Medan, Sabtu (26/2/2020).
Dekan FAI UMSU ini menuturkan pengalamannya pernah berdiskusi dengan sejumlah aktivis ateis dan agnostis dari sejumlah negara. Dari pengakuan para aktivis ateis dan agnostik itu, kata Qorib, terungkap alasan mereka memutuskan untuk tidak beragama adalah dikarenakan selama ini yang terkesan bagi mereka agama itu “not action talk only”, artinya aksi dari agama itu tidak ada, hanya bicara saja.
“Lebih parah lagi kesan mereka terhadap agama begitu negatif. Mereka mengatakan banyak konflik dan kekerasan yang terjadi selama ini terjadi atas nama agama dan menggunakan dalil-dalil yang terkandung dalam kitab-kitab suci agama sebagai justifikasi,” jelasnya.
Perlu diingat, lanjut Qorib, bahwa ternyata rata-rata orang-orang ateis itu berasal dari keluarga yang religius yang rajin melakukan ibadah dan ritual keagamaan. Tapi masalahnya spirit dari ibadah-ibadah tersebut kering dan gagal dipraktekkan dalam konteks kehidupan sehari-hari.
“Melihat kondisi ini kemudian mereka yang memliki watak idealism berontak dan pada akhirnya karena merasa aspirasi mereka terakomodir oleh paham ateisme mereka jadi antipasti terhadap agama,” sebutnya.
Untuk menyiasati tantangan dakwah ini, kata Qorib, kader Muhammadiyah dituntut untuk meningkatkan kapasitas dan cakrawala berpikir.
“Tidak zaman lagi berpikir lokalistik. Posisikanlah diri kita sebagai bagian dari warga global. Ini sangat relevan dengan visi dakwah mutakhir Muhammadiyah yakni Memajukan Indonesia dan Mencerahkan Semesta,” tuturnya.
Kemudian terkait radikalisme, Qorib menjelaskan, bahwa radikal itu maknanya ada dua. Pertama radikal dalam pengertian positif .
Dikatakannya, Muhammadiyah adalah contoh gerakan radikal dalam pengertian positif, karena pada saat melakukan gerakan di tengah-tengah masyarakat Muhammadiyah berpedoman kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, kemudian dipahami secara baik dan mendalam sampai keakar-akarnya.
Kedua, radikal dalam pengertian negatif. Radikal jenis inilah yang erat kaitannya dengan tindak kekerasaan dan terorisme.
Lebih lanjut Qorib menegaskan, bahwa paham radikalisme versi negatif disebabkan beberapa alasan. Pertama, karena mengklaim kebenaran tunggal. Kedua, karena ketaatan buta terhadap pemimpin. Ketiga, karena idealisasi zaman lampau.
Untuk mengantisipasi dan menghempang radikalisme negatif ini, Qorib menawarkan sejumlah solusi, diantaranya; perkuat kompetensi pikir, perkuat kualitas zikir dan perkuat gerakan literasi. (*)
Berita terkait: