TAJDID.ID-Medan || Pemerhati sosial-politik Shohibul Anshor Siregar mengatakan, semua partai politik berorientasi kekuasaan dan karena itu partai yang berpotensi melawan pemerintahan akan disikapi dengan kekuasaan.
Artinya, kata Shohibul, “campur tangan” pemerintah dalam konflik setiap partai politik adalah sesuatu yang sulit dipungkiri. Di Indonesia hal itu sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak zaman Soekarno.
“Berapa banyak parpol dibubarkan zaman Soekarno? Dan lihat bagaimana Soeharto menata kepartaian, agar semuanya tunduk meskipun secara formal semua partai tetap terkesan sebagai institusi demokrasi,” ujar Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini di Medan, Kamis (13/2).
Menurut Shohibul, semuanya itu melukiskan pengalaman demokrasi dan politik yang menegaskan keniscayaan kekuasaan. Sebagai contoh, Golkar adalah partai yang dibangun Pak Harto dan sudah tercatat berulangkali gagal mempertahankan soliditas hingga lahir partai-partai baru seperti Gerindra, Hanura, Nasdem dan lain-lain.
Dijelaskannya, tentang adanya agenda konflik terhadap partai politik di Indonesia dapat dilihat dari dua indikasi; Pertama, saat pergantian pengurus (kongres, musyawarah tingkat pusat maupun daerah). Kedua, penentuan caleg. Ketiga, penentuan figur untuk jabatan-jabatan eksekutif.
Konflik PAN
Seperti partai politik lainnya, lanjut Shohibul, Partai Amanat Nasional (PAN) juga tidak bisa menghidar dari faksionalisasi yang berujung konflik.
PAN sendiri pernah gagal mengakomodasi gejolak internal hingga melahirkan Partai Matahari Bangsa (PMB) meskipun hanya pernah ikut sekali pemilu dan bubar selamanya.
Dalam kasus PAN, Shohibul melihat adanya polarisasi yang menajam tak hanya menjelang kongres. Meski tidak persis sama apa yang dialami PKS kelihatan dalam PAN dengan barisan yang menginginkan konsistensi sikap reformatif atau kencenderungan pragmatis.
Shohibul menegaskan, berapa pun kandidat yang maju pada kongres itu dapat diklasifikasi kepada dua kategori, yakni reformatif dan pragmatis.
“Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh kalangan kedua. Bahkan kalangan reformatif seakan tak bergaung sama sekali,” sebutnya.
Shohibul menilai, PAN sudah agak lama membangun tradisi yang kurang demokratis, sehingga permusyawaratan di daerah kurang menghargai aspirasi yang digantikan oleh argumen komando.
“Mungkin masuk akal juga alasan demi eliminasi money politic dalam musyawarah pergantian pengurus dan span of control yang kuat dari pusat.
Tetapi, kata Shohibul, dampaknya sangat besar dan luas. Bahwa tanpa disadari kini PAN mengalami kerugian besar dengan tradisi baru itu dengan apatisnya kader idealis dan keraguan yang semakin besar atas keamanahan yang terus diharapkan oleh konstituen kepada partai ini.
Pilkada Medan
Lantas, apa pengaruhnya untuk pilkada Medan 2020? Shohibul melihat dugaan PAN bergabung ke Bobby Nasution itu tidak aneh.
Tetapi, menurutnya kader idealis dan konstituennya sama sekali tak dapat dijamin bersedia menerima putusan itu, dan kondisi itu tentu saja diketahui persis oleh penentu sikap partai di daerah maupun di pusat.
Di sini, kata Shohibul, urusan dapat dipilah sebagai urusan pragmatis elit partai dan urusan penajaman peran advokasional partai untuk rakyat. Dalam situasi seperti ini kerugian kerap tak dihitung dari sisi degradasi kepercayaan konstituen.
“Calon yang didukung dan diantarkan ke KPU pun bisa saja tak menyadari bahwa ia hanya diberi tiket politik usungan atau yang ditengah masyarakat lazim disebut ‘perahu sewaan’ belaka,” pungkasnya. (*)