Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Kegencaran forum-forum deradikasilasi saat ini dapat kontraproduktif karena semangat berlebih, sehingga lemah dalam pengelolaan.
Mungkin saat ini setiap orang, apalagi karena posisinya, merasa diri kompeten menjadi narasumber. Padahal yang dihadapi kalangan yang memiliki tingkat literasi yang tinggi, meski tak akan bereaksi apa pun ketika merasa disuguhi dengan bahan out of date, apalagi yang kurang masuk akal.
Analogi yang tak persis sama mungkin ialah masalah korupsi. Sehebat apa pun kegencaran upaya dan kampanye anti korupsi orang sangat memerlukan bukti hadirnya perbaikan kehidupan yang nyata akibat populasi pelaku kejahatan pidana ini sudah direduksi tajam. Kalau tidak, orang tidak perlu yakin kebaikan yang dikampanyekan tentang keberhasilan.
Bahan-bahan dan arah pembahasan dalam forum deradikalisasi kerap tidak berimbang. Misalnya, sebuah studi yang dilakukan Anselm Rink and Kunaal Sharmadi di Kenya (The Determinants of Religious Radicalization: Evidence from Kenya, 2018) telah menyimpulkan bahwa di antara variable mikro, meso dan makro, yang paling menentukan radikalisasi agama hingga terjadinya tindakan-tindakan teror itu ialah variable mikro. Di sini yang dimaksudkan ialah aspek psikologis yang dimudahkan oleh interaksi individual.
Padahal variable meso seperti marginalisasi politik dan variable makro marginalisasi ekonomi pasti menyumbang sangat besar tetapi justru hal itu yang diabaikan sama sekali. Secara metodologis memang diperlukan kecerdasan untuk menghubungan kedua variable meso dan makro itu dengan keluhan yang dapat memudahkan posisi seseorang menjadi korban radikalisasi. Mungkin perlu analisis lebih rinci dengan menggunakan intervening variable hingga akar masalah ditemukan.
Dalam kasus Kenya kita tahu sejarahnya luluh lantak di tangan penjajah, globalisasi memarginalkannya dan akhirnya neoliberalisasi memupus harapannya di tengah hegemoni kulit putih yang tetap merasa unggul baik sebagai ras maupun sebagai penguasa dunia.
Pendekatan serupa telah lama dikemukakan oleh Ted Robert Gur (Why Men Rebel, 1970) dengan mengandalkan analisis psikologis. Memang benar, bahwa banyak orang yang merasa hak-haknya dirampas (relative deprivation) tidak lantas menjadi pemberontak sebelum dideploy (dibina) pihak lain.
Tetapi jangan lupa, apa penyebab terjadinya pengalaman relative deprivation (merasa haknya dirampas)? Dalam hal ini analisis struktural yang akan dapat menjawab sehingga orang yang merasa perlu mengajukan protes bertema keadilan tidak serta-merta dicap radikal. Tema solusi yang akan dihadirkan pasti keadilan.
Bersambung….(Page 2)