TAJDID.ID-Medan || Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (PWM Sumut) Dr H Abdul Hakim Siagian SH MHum menyesalkan sepak terjang Menteri Agama Fachrul Razi yang dari awal diangkat hingga kini begitu gemar membuat kebijakan kontroversial, sehingga tidak henti-hentinya menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.
Dikatakannya, baru beberapa waktu jadi menteri sudah ramai betul kebijakan-kebijakan Menag ini, mulai dari radikal-radikul, cadar, celana cingkrang, PMA Majlis Taklim dan terakhir ingin penghapusan materi jihad dan khilafah dari soal ujian dan kajian pelajaran di madrasah.
Hakim mengatakan, Menag mungkin lupa bahwa negara ini negara Pancasila, Negara demokrasi dan negara hukum. Konsekuensi negara hukum maka apapun sebelum diputuskan harusnya melibatkan masyarakat yang akan terkena dengan kajian akademis dulu.
“Itulah salah satu pembeda dengan sistem fasis atau komunis, dimana cuma negara yang menentukan segalanya,” ujarnya di Medan, Selasa (10/12/2019).
Baca berita terkait: Tak Jadi Dihapus, Materi Jihad dan Khilafah Dipindah dari Pelajaran Fikih ke Sejarah
Tentang kurikulum di madrasah, kata Hakim, sangat wajar dilakukan evaluasi. Namun harus dipastikan bahwa itu sesuai dengan Pancasila dan acuannya berbagai regulasi yang sudah ada, karena itulah yang akan diwujudkan sebagai tujuan. Misal, bahwa tujuan pendidikan itu disamping mencerdaskan adalah meningkatkan dan keimanan dan lain-lain.
“Bila demikian harusnya jangan malu belajar dan mencontoh Muhammadiyah yang jauh lebih dulu mengelola ragam pendidikan sejak tahun 1912 silam,” jelas Hakim.
Bahwa bila dalam fakta ada penyimpangan atau pelanggaran dengan istilah radikal, ekstrimis atau teroris atau penjahat-penjahat, baik di bisnis, lingkungan, narkobadan lain sebagainya, maka dari sekolah tersebut pantas dilakukan kajian.
Namun jangan diskriminatif hanya untuk sekolah Islam saja. Harusnya berlaku sama untuk semua sekolah, misalnya, yang gurunya atau alumni yang penjahat-penjahat, korupsi, intoleran, tidak menerapkan ajaran Pancasila seperti pelaku praktik ideologi kapitalisme, individualisme, liberalism, neolib, ateis dan komunis.
Hakim mengingatkan pemerintah jangan melakukan kebijakan diskriminatif, sebab itu pelanggaran konstitusi, HAM bahkan menginjak-injak pancasila. Dan pastinya itu rawan mengundang konflik sosial yang sekarang nampaknya kian meruncing karena ketidakadilan dan praktik ideologi yang melanggar Pancasila bebas begitu saja.
“Kembalilah ke Pancasila dan konstitusi, serta camkan dengan saksama sumpah jabatannya,” pungkasnya. (*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho