TAJDID.ID-Medan || Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mengatakan, gerakan sosial menanggapi krisis Wamena hanyalah salah satu fenomena yang mengekspresikan perbedaan solidaritas dan jarak sosial antara satu dan lain dari komponen bangsa di Indonesia yang majemuk. Fenomena itu juga sekaligus melukiskan statisme Bhinneka Tunggal Ika yang berhenti pada jargon.
“Negara tak hadir, akhirnya reaksi yang lebih mengedepankan solidaritas gemeinschaft menjadi jawaban atas kekhawatiran atas eskalasi kejadian dan pelipatan eksesif tragedi Wamena itu,” ujarnya di Medan, Jum’at (4/10).
Koordinator n’BASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya) ini menjelaskan, Wamena memiliki aspirasi yang terhubung dengan Pancasila, yakni sila ketiga (Persatuan Indonesia) dan sila kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia) yang juga hingga hari ini gagal difahami, apalagi untuk dilaksanakan.
Menurut Shohibul, melindungi segenap tumpah darah dan seluruh bangsa Indonesia adalah doktrin imperatif yang sama kuatnya dengan doktrin memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun faktanya, kata Shohibul, pemerintahan yang silih berganti tak pernah berusaha sungguh-sungguh, malah dengan mengundang modal asing sebagai determinan pembangunan untuk growth (pertumbuhan), negeri ini jelas salah arah.
“Wamena hanya satu fenomena puncak gunung es, yang bisa berkembang lebih luas selama akar masalah yakni keadilan tidak dianggap penting,” tegasnya. (*)
Laporan: Mursih