TAJDID.ID-Medan || Belum lama ini, masih dalam suasana HUT Kemerdekaan RI ke-74 tahun, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) menggelar “Festival Naskah Nusantara ke-5” yang dipusatkan di di kawasan wisata Geosite Sipinsur, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Senin (19/8)
Salahsatu rangkaian dari kegiatan tersebut adalah “Seminar Internasional Pernaskahan” yang diadakan di Covention Hall TB Silalahi Center, 20-21 Agustus 2019.
Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Shiregar, yang hadir dalam acara seminar tersebut membuat sejumlah catatan yang menggelitik untuk dikritisi.
Ia menuturkan, dari sekian pembicara yang ditampilkan, sebagian berasal dari luar, ada dari Inggris, Jerman, Italia, dan cuma sedikit yang berasal dari dalam negeri.
“Menyaksikan semua itu, setelah 74 tahun negara ini merdeka, namun naskah-naskah kita justru dibacakan oleh orang-orang asing ke kita. Ini sungguh ironis. Dalam forum itu kita cuma jadi jadi objek dari terjemahan dan subjektivisme yang mereka (paneliti asing-red) suguhkan,” ujar Koordinator Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (n’BASIS) ini.
Atas fakta itu, Shohibul begitu sedih dan mengungkapkan bahwa ia menangis dalam batin. Padahal, katanya, di tengah ketidaklengkapan data, berapa banyak sumber-sumber naskah kuno itu jumlahnya dan di perpustakaan serta di musium negara mana disimpan, semua itu belum ada kepastian.
Tapi lucunya, lanjut Shohibul, para sarjana sarjana luar itu sudah mengambil kesimpulan, bahwa di dalam naskah-naskah kuno itu hanya mengandung hal-hal yang terkait dengan nujum, black-majic, white-majic, dan ramalan. Pada hal diakui mereka sendiri, bahwa yang sudah mereka baca dan dikaji baru 0.5 persen.
“Apakah naskah-naskah itu tidak memberitahu siapa kita sebenarnya? Apakah naskah-naskah itu tidak bicara tentang sejarah, politik, kepribadian dan macam-macam lainnya? Apakah naskah itu cuma bercerita tentang bagaimana membunuh, perang antar suku? Apakah hanya seperti itu?,” tanyanya.
Pada hal, kata Shohibul, di dalam naskah-naskah nusantara itu banyak sekali hal-hal yang sebetulnya bisa membuat kita lebih tahu tentang kita sebagai sebuah bangsa . Namun sayangnya, lembaga-lembaga akademis tidak memperoleh dukungan yang cukup kuat dari pemerintah untuk melakukan penggalian dan pengkajian naskah-naskah tersebut, sehingga minim sekali pengetahuan kita tentang masa lalu kita, sejarah kita, khazanah kebudayaan kita.
“Terus terang saya keberatan sekali dengan judgment-judgment mereka. Tandanya penjajah itu belum berakhir hingga hari ini. Justru makin memberontak jiwa ini, karena seminar itu diselenggarakan masih dalam suasana perayaan HUT kemerdekan Negara kita,” tegasnya.
Shohibul mengatakan, bangsa ini pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, diduduki oleh Jepang 3,5 tahun, dijajah Protugis dan pernah juga beralih dari Belanda ke tangan Prancis.
Sebelum bangsa Eropa penjajah itu datang ke sini, faktanya negeri ini sudah dipenuhi kerajaan-kerajaan Islam yang umumnya terkoneksi dengan kesultanan Turki Usmani. Dan kebanyakan di antaranya, hingga Belanda angkat kaki, kerajaan-kerajaan itu samasekali tidak pernah tunduk.
“Sebagai negara yang dijajah, sejarah kita dituliskan oleh mereka-mereka (bangsa penjajah), seenak mereka, sesuai perspektif mereka, sesuai dengan kepentingan mereka. Maka pastilah terjadilah distorsi yang sifatnya bisa pendangkalan dan bisa juga bermakna manipulasi,” ungkapnya.
Shohibul membeberkan, dalam kasus-kasus yang begitu rumit, sampai hari ini peta naskah-naskah itu bulum juga kita punya. Hampir semua keberadaan suku bangsa di negeri ini mempunya sejarah yang relatif tidak bisa kita pahami. Dan konyolnya sudah dituliskan oleh orang asing.
Salahsatu contoh, kata Shohibul, adalah tentang Tapanuli yang di dalamnya ada beberapa suku, seperti Toba, Simalungun, Mandailing, Angkola, Karo, Dairi, Pakpak.
Suatu ketika pada tahun 2016, seorang sarjana luar bernama Anthony Reid dari Australian National University mengungkapkan kecurigaannya terhadap sejarah itu yang ia ungkapkan dalam makalahnya yang berjudul “Is There a Batak History”. Reid mengatakan, terlalu banyak kemauan kita (bangsa pendatang) yang tertuang dalam naskah sejarah yang dituliskan itu, sehingga subjektivisme kita itu membuat mereka (suku-suku di Tapanuli) tergambarkan tidak seperti apa adanya.
“Seharusnya dalam naskah-naskah itu ada hal-hal substantif yang tak boleh dinafikan. Maka dalam makalah itu ditegaskannya perlu revisi ulang konten sejarah kita dan terlalu besar distorsi yang kita alami dari sejarah itu,” katanya.
Sebagai bangsa merdeka dan bekas Negara jajahan, kata Shohibul, seharusnya Indonesia sudah menyadari, bahwa dalam khazanah studi post-colonialism, ada beberapa yang bisa kita rujuk dari karya-karya intelktual dunia yang banyak mendorong orang-orang bekeas jajahan itu untuk lebih mawas diri dan tidak mau lagi didikte oleh penjajah itu.
“Diantaranya pemikir poskolonialisme yang meninspirasi adalah Edward Said dan Gayatri Chakravorty Spivak. Kedua intelektual ini aktif menebar wacana yang mendorong negara-negara, penduduk-penduduk negara dan bangsa-bangsa bekas jajahan untuk mengenal diri, menukar cara pandang dan secara eklektif,” sebutnya.
Berangkat dari fakta-fakta tersebut, Shohibul meminta dengan hormat dan sangat kepada pemerintahan Indonesia agar segera mengambil langkah-langkat konkrit dan tegas dengan mengambil kembali naskah-naskah itu dan membawanya ke Indonesia. Karena pada umumnya semua naskah itu pindah dari Indonesia dengan cara dirampok dan dirampas dengan pelbagai modus yang dilakukan.
“Kalau mereka bilang mereka beli, harus ditanya dong, dari siapa di beli, siapa yang jual. Sudah pasti itu transaksi yang tidak sah. Saya berani katakan itu bagian dari perampasan juga,” tegasnya.
Bukan cuma sekedar dikembalikan, sambung Shohibul, pemerintahan Indonesia juga harus meminta negara-negara yang menyimpan naskah-naskah selama puluhan tahun itu untuk membangun instalasi dan fasilitas untuk memeliharanya, termasuk digitalisasi, dan juga membiayai operasionalnya selama 50 tahun, berikut dengan mendatangkan ahlinya dari negara mereka.
“Sehingga dalam kurun 50 tahun itu ada transfer of technology perawatan semua itu, sembari melakukan kajian-kajian intensif,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus melatih sarjana-sarjan kita untuk mahir membaca naskah-naskah yang rata-rata ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Jerman dan Belanda. Karena diantara naskah itu ada beberapa yang berbentuk teks surat menyurat (korespondensi) para tokoh itu dalam bahasa Belanda dan Jerman.
“Dari semua itu, kita ingin temukan diri kita dan jati diri bangsa kita secara objektif. Sehingga konstruk tentang diri kita selama ini bisa kita luruskan dan benahi kembali,” pungkasnya. (*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho