Pers Islam semakin bertaburan menghiasi pergerakan di Indonesia. Tak hanya di Sumatera Barat dan Jawa, tetapi merambah hingga Kalimantan, hingga Ambon. Di Kalimantan hadir Persatuan (Samarinda), Pelita Islam (Banjarmasin). Di Bangkalan, Madura, terdengar Al Islah (yang kemudian dibredel tahun 1936). Di Ambon, hadir SUISMA yang terbit tiga kali dalam sebulan. Namun, yang mencolok kala itu adalah Sumatera Utara (Medan). Medan kemudian dikenal sebagai gudangnya pers Islam. Sebut saja Suluh Islam (KH Abdul Madjid Abdullah), Medan Islam, Al Hidayah, Medan Islam, Menara Puteri (Rangkayo Rasuna Said) hingga Panji Islam (ZA Ahmad-kelak menjadi tokoh Masyumi). Namun tak ada yang dapat menandingi prestasi Pedoman Masyarakat.
Terbit di Medan, Sumatera Utara tahun 1935, Pedoman Masyarakat identik dengan nama Buya Hamka dan Yunan Nasution (kelak keduanya bertemu kembali di Masyumi). Bergabung pada usia 28 tahun, Buya Hamka menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat, awalnya hanya beroplah 500 eksemplar, namun ditangannya, melonjak oplahnya hingga 4000 eksemplar. Suatu prestasi yang luar biasa untuk sebuah majalah pada masa itu dikenal sebagai zaman sulit.
Memasang motto ‘Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam’, Pedoman Masyarakat nyata-nyata bekerja untuk peradaban. Di kupasnya masalah pengetahuan umum, agama, sejarah,’ Alam perempuan’, ‘Dunia Islam’ serta ‘Cermin Hidup’. Di ruang inilah lahir karya-karya besar Buya Hamka seperti, Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tasauf Modern dan lain-lain. Sementara Yunan Nasution memegang peran penting sebagai penulis rubrik editorial, Syma Nare. Namun Pedoman Masyarakat tidak hanya mengandalkan penulisnya sendiri, beragam kalangan dimuat tulisannya oleh Pedoman Masyarakat, seperti Soekarno dari nasionalis, sederet tokoh Islam seperti H. Agus Salim, dan M. Natsir, KH Mas Mansyur, hingga tokoh perempuan seperti Rangkayo Rasuna Said. Pedoman Masyarakat juga tak luput dari pengawasan pemerintah kolonial. Kritik-kritik tajamnya membuat Pedoman berkali-kali nyaris bersalaman dengan pembredelan. Namun dicengkaraman penjajahan Jepang-lah Pedoman Masyarakat beserta banyak media massa lainnya menemui ajalnya. Sulitnya bahan baku kertas serta penindasan jepang membuat masa itu menjadi kuburan massal bagi pers kala itu.
Dibalik kesulitan-kesulitan yang mengepung, pers Islam tetap berkiprah dengan semangat yang membara. Mereka terus bersuara lantang, dengan landasan Islam. Menjadi pembela hak-hak rakyat yang terjajah, walaupun kerap diintai ranjau undang-undang pers yang sewenang-wenang dan siap membungkam. Namun nyatanya pers Islam tetap bergerak. Pers Islam tidak hanya menjadi pembentuk opini untuk meninggikan kalimat Allah, tetapi juga menjadi pembela agamanya. Pers Islam tidak pernah menanggalkan identitasnya, dan justru karena identitas Islam itu, pers Islam tidak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa nasional yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Mulai dari pembentukan sebuah bayangan akan komunitas yang kelak bernama Indonesia, hingga melawan penjajahan dan pendukung kemerdekaan. Pers Islam tidak hanya berenang-renang ditepian, tapi ia terjun dipusaran perjalanan negeri kita. (*)
Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Sumber: jejakislam.net
Catatan Kaki:
[1] Zakariya, Hafiz. 2011. Cairo and The Printing Presses as The Modes in the Dissemination of Muhammad Abduh’s Reformism to Colonial Malaya. IPEDR, vol 17. [2] Burhanuddin, Jajat. 2004. The Fragmentation of Religius Authority : Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia.Studia Islamika, 11 (1) [3] Sunarti, Sastri. 2013. Kajian Lintas Media, Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an). Jakarta : KPG [4] Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nation Hood and Colonial Indonesia, The Umma Below the Winds. New York : RoudledgeCurzon. [5] Ibid [6] Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama & Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.Jakarta : Mizan Publika [7] Ibid [8] Jajat ulama kekuasaan [9] Sunarti, Sastri. 2013. Kajian Lintas Media, Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an). Jakarta : KPG [10]Burhanuddin, Jajat. 2004. The Fragmentation of Religius Authority : Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia.Studia Islamika, 11 (1) [11] ibid [12] Ibid [13] Ibid [14] Busyairi, Badruzzaman. 1985. Catatan Perjuangan HM Yunan Nasution. Jakarta : Pustaka Panjimas. [15] Mu’arif. 2010. Benteng Muhammadiyah. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah. [16] Ibid [17] ibid [18] Federspiel, Howard M. 1966. The Persatuan Islam (Islamic Union). Tesis Phd. Institute of Islamic Studies, McGill University,Montreal. [19] Panitya Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 tahun. 1978. M. Natsir 70 tahun Kenang-kenangan Kehidupan & Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara. [20] Ibid [21] H. Aboebakar. 2011. Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim. Bandung: Mizan