Sarekat Islam, semenjak di bawah kemudi Hadji Omar Said Tjokroaminoto memainkan peran besar dalam pergerakan Islam di tanah air. Dengan karisma dan pidatonya yang memukau Tjokroaminoto memiliki banyak pengikut, bahkan tak sedikit yang menanggapnya sebagai Ratu Adil. Namun kepiawaian Raja Jawa tanpa mahkota ini tak hanya di mimbar rapat-rapat umum. Tetapi juga di media massa. Oetoesan Hindia adalah media massa pertama yang menjadi corong Sarekat Islam. Terbit tahun 1913, Oetoesan Hindia adalah harian yang di gawangi oleh Tjokroaminoto. Beberapa bulan kemudian Sarekat Islam (SI) cabang Bandung menerbitkan Hindia Serikat yang salah satunya dibidani oleh Abdul Muis. Di Batavia, SI menerbitkan Pantjaran Warta yang dikemudikan oleh Goenawan. Di Semarang, SI Semarang mulai menerbitkan Sinar Djawa.[10]
Sarekat Islam semakin bergerak maju ketika pada tahun 1916, mereka menerbitkan Al Islam. Di kemudikan oleh Tjokroaminoto dan Haji Abdullah Ahmad (Al Munir), Al Islam bersuara lebih kencang dalam hal politik. Ia menjadi jembatan bagi gerakan politik Islam. Al Islam menyatakan dirinya sebagai, ‘ Tempat soeara anak Hindia yang tjinta igama dan tanah ajernjya.’[11]Dengan darah pembaruan agama yang dibawa Haji Abdullah Ahmad serta kecenderungan politik radikal Tjokroaminoto, Al Islam menggelorakan pembaruan agama dan politik. Al Islam semakin merangsek wacana di Hindia Belanda saat itu, dengan berani menyuarakan hak untuk memerintah bagi bangsa sendiri. Untuk menyuarakannya, Al Islam menggulirkan istilah Bangsa Islam tanah Hindia.[12]
Al Islam tidak sendirian, tokoh SI lainnya, Haji Agus Salim, bersama Abdul Muis menerbitkan harian Neratja, yang juga berorientasi politik. Haji Agus Salim pun nantinya dikenal sebagai orang dibalik Hindia Baru (1925-1926), Bendera Islam (bersama Tjokroaminoto) dan Fajar Asia (Tjokroaminoto-H. Agus Salim kemudian Kartosuwirjo; 1927-1930 ).[13] Harian Fajar Asia, saat itu adalah kerikil tajam bagi pemerintah kolonial. Harian itu terkenal gigih membuka kebusukan praktek poenale sanctie (yang menggiring puluhan ribu anak bangsa bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatera), heerendienst (kerja rodi) dan erfpacht (yang mengeksploitasi tanah dengan system sewa kontrak), dimana buruh dihisap, tenaganya diperas habis-habisan serta berbagai kebiadaban yang mengiringinya. Tajamnya kritik H. Agus Salim melalui Fajar Asia (kemudian) Mustika, membuatnya dikenal sebagai pembela hak-hak buruh. [14]
Di Jogjakarta, muncullah nama tokoh Muhammadiyah, H. Fachrodin. Ia adalah diantara murid-murid langsung KH Ahmad Dahlan dan merupakan saudara kandung dari Ki Bagus Hadikusumo. Nama H. Fachrodin malang melintang di berbagai media massa saat itu. Ia pernah menjadi koresponden tetap dari Doenia Bergerak (terbit 1914), sebuah surat kabar berhaluan kiri. Selain itu H. Fachrodin pernah menjadi redaktur Medan Muslimin (1915), sebuah surat kabar radikal dibawah pimpinan, ‘Haji Merah’ Haji Misbach. Berikutnya H. Fachrodin menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi), Srie Diponegoro (1918), Soewara Moehammadijah, dan Bintang Islam. [15]
Di tengah Bintang Islam-lah, nama H. Fachrodin banyak meninggalkan kesan. Berdiri tahun 1922, Bintang Islam menjadi majalah dwi mingguan Islam yang dikelola secara professional. Tirasnya mencapai 1500 eksmeplar dan menjangkau hingga Singapura, Perak dan Johor. Bintang Islam memuat berita seputar Islam di tanah air dan luar negeri. Bahkan Bung Hatta pernah menjadi koresponden Bintang Islam, saat ia masih di Amsterdam. Sampai meninggalnya, H. Fachrodin menjabat selaku hoofdredacteur Bintang Islam. [16]
Tulisan H. Fachrodin menyebar di berbagai media saat itu, merentang pembahasannya, mulai dari agama Islam, Kristen, hingga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang begitu menderita. Ia misalnya pernah menulis tentang ‘Christen dan Moehammadijah’ dan ‘Islam Njawa Kemadjoean’ (di Soewara Moehammadijah), Verslag saja selama bepergian ke Mekkah (di Soewara Moehammadijah & Islam Bergerak), dan sebuah kritik yang tajam, dan mengantarkannya meringkuk dibalik terali besi oleh pemerintah kolonial. Penyebabnya karena kala itu Ia menulis nasib rakyat yang menderita,
“Kebon tebu jang ditanam diatas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan, sehingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi…” (Srie Diponegoro).[17]
Selepas wafatnya H. Fachrodin, Majalah Bintang Islam kemudian mengenang beliau dalam edisi khusus ‘Fachrodin Nummer.’
“Pandai beliau menoelis dan mengarang pada kemoediannja itoe, ialah dari kawan-kawannja jang selaloe bergaoelan dan bermain-main…, Begitoe joega, kerap sekali beliaoe membawa pertanjakan kepada orang jang lebih pandai, tentang apa sahadja, sehingga dimengertilah matjam-matjam pengetahoean.” (Bintang Islam no 14-15 th 1930).