Oleh: Hizqil Apandi, S.Pd
Tepat pukul 16.40 pesawat yang membawa rombongan mendarat di bandara H. Hasan Aroeboesman di kota Ende-Flores Nusa Tenggara Timur. Setelah menempuh perjalanan panjang dari Banda Aceh – Jakarta – Kupang – Tambolaka dan Ende selama hampir 30 jam. Ada perasaan haru di hati ini.
Kota Ende yang Indah, kota Ende yang bersejarah, akhirnya dapat kami singgahi pada tanggal 22 November 2020. Kedatangan kami ke Ende membawa misi pembudayaan Pancasila yang difasilitasi oleh BPIP. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan ini mewakili Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) provinsi Aceh.
Ende merupakan sebuah kota yang bersejarah bagi bangsa ini. Hal ini tidak lepas dari kisah pengasingan sang proklamator Bung Karno ke Ende, pada kurun waktu 1934-1938. Begitu banyak kisah yang ditorehkan oleh Bung Karno di kota ini.
Selain wisata sejarahnya yang menggetarkan jiwa, Ende sudah lama dikenal memiliki wisata alam yang sangat indah. Wisata alam Danau Kelimutu yang berada sekiar 55 KM dari kota Ende sudah lama terkenal sampai manca negara. Keindahan alam danau Kelimutu ini menjadikannya sebagai destinasi utama pariwisata di Ende.
Memang, bukan Bung Karno namanya kalau beliau berhenti menentang penjajahan Belanda. Setelah dijebloskan ke penjara Banceuy dan Sukamiskin di kota Bandung, pengaruh Soekarno justru semakin besar. Setelah bebas dari penjara, spirit perjuangannya semakin luas menginspirasi kawan-kawan seperjaungannya. Inilah yang menjadi kekhawatiran Belanda kepada seorang Bung karno, hingga Belanda memutuskan mengasingkan Bung Karno karena kegiatan politiknya dianggap membahayakan pemerintahan kolonial.
Untuk pertama kalinya Bung Karno diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke suatu tempat yang cukup jauh. Kota itu bernama Ende, Sebuah tempat di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Konon, ketika Gubernur Jenderal De Jonge memutuskan Soekarno dibuang ke Ende, Seokarno segera menyampaikan hal tersebut kepada ibu Inggit istri tercintanya, Lalu ibu Inggit dengan yakin menjawab “aku akan ikut denganmu walau sampai ke dasar lautan”. Tapi ibu Inggit juga kebingunan. “Kus (Soekarno) Ende itu dimana” menunjukan bahwa Ende saat itu bukanlah tempat yang familiar untuk keluarga ini.
Butuh waktu sekitar 8 hari bagi Bung Karno dan keluarga untuk mencapai kota Ende dari Surabaya. Dengan menumpang kapal dagang KM Jan van Riebeeck, keluarga ini bertolak dari Surabaya pada 28 Desember 1933.
Akhirnya Bung Karno menginjakan kakinya di Ende, Flores pada tanggal 14 Januari 1934. Sang Istri ibu Inggit Garnasih dan mertua beliau ibu Amsi serta seorang anak angkat bernama Ratna Djuami turut menyertai Bung Karno ke Ende.
Setibanya di Ende, Bung Karno dan keluarga menempati sebuah rumah milik bapak Abdullah Amburawu seorang saudagar di kota Ende. Sekarang rumah ini beralamat di Jl. Perwira, Kel. Kotaraja, Ende Utara, Kabupaten Ende. Di rumah nilah kami melaksanakan kegiatan pembudayaan Pancasila dengan melaksanakan diskusi bersama para sejarawan dan budayawan untuk menggali nilai-nilai luhur Pancasila. Kegiatan yang berlangsung pada tanggl 23 November 2020 ini berlanhsung sekitar 2 jam.
Rumah yang sekarang menjadi museum tersebut kondisinya cukup terawat. Rumah ini memiliki luas 742,6 m² (23,5 m x 31,6 m) dan dibangun diatas lahan seluas 110,4 m² (11,5 m x 9,6 m). Bangunan utama terdiri atas ruang tamu, tengah, dan tiga kamar tidur. Dapur dan kamar mandi berada di bagian belakang dan terpisah dari bangunan utama.
Bersambung (hal 2).