Oleh: Jufri
Pemerhati Sosial dan Politik
Musyawarah Daerah X Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara periode 2025–2030 akhirnya menetapkan kembali susunan kepemimpinan organisasi keulamaan terbesar di daerah ini. Seperti lazimnya sebuah forum musyawarah besar, ia tidak hanya melahirkan keputusan, tetapi juga menyisakan cerita, tafsir, dan pertanyaan-pertanyaan yang patut direnungkan bersama.
Ketua Dewan Pertimbangan dipercayakan kepada Prof. Dr. H. Agussani, M.AP, sosok akademisi yang relatif diterima lintas ormas dan generasi. Dewan ini diperkuat oleh nama-nama tokoh penting, mulai dari Muhammad Bobby Afif Nasution, H. Surya, H. Musa Rajekshah, hingga sejumlah ulama dan akademisi senior lainnya. Secara struktur, Dewan Pertimbangan merepresentasikan wajah relasi antara ulama, tokoh umat, dan kekuasaan lokal—relasi yang selalu sensitif namun tak terelakkan.
Pada kepengurusan harian, Dr. H. Maratua Simanjuntak kembali dipercaya sebagai Ketua Umum. Terpilihnya kembali beliau menjadi catatan tersendiri. Dalam dinamika Musda, sempat mengemuka pernyataan bahwa beliau tidak bersedia lagi untuk dicalonkan pada periode berikutnya. Namun pada akhirnya, sejarah organisasi sering berjalan dengan cara yang ironis: mereka yang ingin rehat justru kembali dipanggil oleh amanah.
Fenomena ini bukan sekadar soal figur, melainkan soal ketergantungan organisasi pada kontinuitas tokoh, sekaligus cermin bahwa regenerasi di tubuh lembaga keumatan sering kali berjalan lebih lambat dari harapan.
Posisi Sekretaris Umum diemban oleh Prof. Dr. H. Ardiansyah, Lc., MA, dengan Drs. H. Sotar Nasution, MHB sebagai Bendahara Umum. Struktur ini diperkuat oleh para wakil ketua umum, wakil bendahara, serta jajaran bidang yang cukup lengkap, dari Fatwa, Dakwah, Pendidikan, hingga Digitalisasi dan Halal.
Baca juga:
Di tengah dinamika tersebut, ketidakhadiran Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, dalam berbagai rangkaian kegiatan MUI ,termasuk di Musda ini menjadi isu yang cukup ramai dibicarakan. Pemerintah Sumatera Utara mengutus Wakil Gubernur H.Surya ,Bsc untuk memberikan arahan dan membuka acara.
Spekulasi beredar sebagaimana biasanya: soal relasi, jarak, bahkan tafsir politik. Namun para formatur secara tegas menyatakan tidak ada pesan, arahan, apalagi penekanan dari pihak mana pun dalam proses pemilihan pimpinan.
Pernyataan ini penting, bukan hanya untuk menjawab isu jangka pendek, tetapi untuk menegaskan posisi MUI sebagai lembaga keulamaan yang berusaha menjaga otonomi moralnya, meski hidup dan bergerak di ruang yang tak pernah steril dari kepentingan kekuasaan.
Struktur kepengurusan MUI Sumut 2025–2030 yang kini terbentuk mencerminkan dua hal sekaligus: pertama, kekuatan representasi, karena melibatkan banyak tokoh, ormas, dan keahlian; kedua, tantangan konsistensi, karena semakin besar struktur, semakin berat pula menjaga keberanian bersikap.
Periode lima tahun ke depan akan menjadi ujian penting: apakah MUI Sumut mampu tetap menjadi penjaga nurani publik, bukan sekadar pelengkap seremoni kekuasaan; apakah fatwa, dakwah, dan sikap keumatan tetap berpijak pada kepentingan umat, bukan kenyamanan elite; dan apakah struktur yang megah ini benar-benar bekerja untuk umat, bukan hanya rapi di atas kertas.
Musyawarah telah selesai. Nama-nama telah disepakati. Kini yang ditunggu bukan lagi susunan jabatan, melainkan keberanian moral dalam menjalankan amanah.
Karena pada akhirnya, ulama bukan dinilai dari dekatnya dengan kekuasaan, tetapi dari jaraknya terhadap ketidakadilan.
Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni








