Oleh: Jufri
Pagi ini saya kembali membaca kisah Buya HAMKA. Entah mengapa, dorongan itu datang begitu kuat. Setelah selesai membaca, perasaan saya bercampur: terharu dan malu, dua rasa yang jarang hadir bersamaan, tetapi justru saling menguatkan.
Terharu karena membayangkan betapa berat beban seorang ulama sejati. Jalan hidup Buya HAMKA penuh ujian: tekanan politik, fitnah, penjara, kesepian, dan godaan kekuasaan. Namun ia tidak pernah menjadikan penderitaan itu sebagai alasan untuk berkompromi dengan nurani. Ia justru tumbuh di tengah ujian, bukan mengecil karenanya.
Buya HAMKA adalah ulama yang luas, jiwanya, ilmunya, dan cara pandangnya. Ia tidak terjebak fanatisme sempit, juga tidak tergoda menjadi “penjaga moral” yang gemar menghakimi. Prinsipnya tegas, tetapi sikapnya lapang. Karena itu ia diterima lintas kelompok, tanpa harus menggadaikan keyakinan. Ia mempersatukan umat bukan dengan seragam pemikiran, melainkan dengan keluhuran akhlak.
Yang paling menggetarkan, Buya HAMKA menolak difasilitasi oleh negara. Bukan karena negara tak mampu memberinya, tetapi karena ia mampu menolak. Jika ia mau, jabatan dan kenyamanan itu dengan mudah diraih. Namun Buya HAMKA memilih berpihak kepada umat. Ia sadar, ketika ulama terlalu dimanja kekuasaan, saat itulah jarak dengan umat mulai menganga.
Di titik ini, rasa malu menyeruak. Malu karena kadang diri ini, dan mungkin banyak dari kita, terlalu berani berada dalam sebutan “ulama”, padahal tak sungguh-sungguh memiliki kapabilitas sebagai ulama. Ilmu terbatas, keteladanan rapuh, keberanian sering kalah oleh kenyamanan. Buya HAMKA membuat kita bercermin: menjadi ulama bukan soal pengakuan sosial, melainkan soal tanggung jawab moral yang beratnya nyaris tak tertanggungkan.
Relasi Buya HAMKA dengan kekuasaan memberi pelajaran penting. Ia bukan ulama oposisi yang gemar berteriak, dan bukan pula ulama istana yang sibuk membenarkan. Ia memilih berdiri di ruang yang jarang diminati: ruang integritas. Di sana, suara ulama tidak ditentukan oleh seberapa dekat ia dengan penguasa, melainkan oleh seberapa jujur ia kepada kebenaran.
Hari ini, yang terasa justru bukan kelangkaan agama, melainkan kelangkaan ulama. Mimbar semakin ramai, tetapi keberanian makin sepi. Gelar keulamaan mudah disematkan, namun kesediaan menanggung risikonya jarang ditemukan. Banyak yang lantang berbicara moral, tetapi gagap ketika berhadapan dengan kekuasaan. Kita lebih sering menjumpai ulama yang nyaman di sekitar fasilitas, akrab dengan panggung, dan fasih memberi legitimasi, ketimbang ulama yang sanggup berkata “tidak” ketika nurani menuntutnya. Dalam situasi seperti ini, Buya HAMKA tidak sekadar dikenang, ia diam-diam mengadili zaman kita.
Buya HAMKA mengingatkan kita bahwa jabatan hanyalah alat, bukan tujuan. Bahwa persatuan tidak lahir dari kompromi nilai, melainkan dari kelapangan akhlak. Dan bahwa ulama yang besar bukanlah yang paling sering dipanggil ke istana, melainkan yang tetap merdeka ketika istana memanggilnya.
Barangkali itulah sebabnya membaca Buya HAMKA selalu membuat kita terharu dan malu sekaligus: haru karena melihat ketinggian akhlaknya, dan malu karena menyadari betapa rendahnya standar keteladanan kita hari ini.
Pagi ini saya betul – betul terharu dan malu membaca kisah dan perjalanan ulama yang bergelimang penderitaan, dan dihadapkan pada fitnah jabatan . Buya tidak pernah meminta , apalagi merekayasa melalui penguasa agar dia ditempatkan diposisi Ketua Majelis Ulama. Buya menyadari bahwa menjadi ulama bukanlah sebutan yang mudah , karena itu tidak mudah pula menjalaninya . Jadi tidak mudah – mudah saja orang disebut Ustadz, Buya apalagi ulama . Ironisnya sekarang kita mudah saja menyebut seseorang ulama , atau malah senang pula dipanggil dengan sebutan ulama, padahal bukan siapa – siapa. (*)
Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni






