Oleh: Miftah Fariz, S.Sos.I., S.Pd.I., M.A.
Dosen UMSU/Sekretaris Majelis Dikdasmen dan PNF PWM Sumut
Setiap akhir semester, sekolah-sekolah kembali menjadi ruang pertemuan antara orang tua dan guru melalui agenda pembagian rapor. Namun, ada satu pola yang hampir selalu berulang: kehadiran didominasi oleh para ibu, sementara ayah relatif jarang terlihat. Situasi ini tidak lagi sekadar fenomena kebetulan, melainkan cerminan cara pandang yang telah lama mengakar dalam praktik pengasuhan dan pendidikan keluarga.
Rapor sering dipersepsikan sebagai urusan administratif sekolah atau tanggung jawab ibu semata. Padahal, dokumen tersebut memuat gambaran menyeluruh tentang perkembangan akademik, sikap, kedisiplinan, dan proses belajar anak. Dengan demikian, rapor seharusnya menjadi perhatian bersama kedua orang tua, termasuk ayah.
Rapor sebagai Instrumen Evaluasi Pendidikan
Nilai-nilai yang tercantum dalam rapor bukan hanya angka, melainkan representasi dari proses pendidikan yang dijalani anak dalam satu periode tertentu. Di dalamnya terdapat catatan guru mengenai perilaku, kehadiran, serta kemampuan sosial anak di lingkungan sekolah. Ketika ayah melibatkan diri secara langsung, misalnya dengan mengambil rapor, keterlibatan tersebut memiliki makna simbolik dan substantif.
Bagi anak, kehadiran ayah di sekolah dapat menumbuhkan rasa dihargai dan diperhatikan. Anak memahami bahwa proses belajarnya mendapat perhatian serius, bukan hanya dari ibu dan guru, tetapi juga dari ayah sebagai figur penting dalam keluarga. Dampak psikologis semacam ini berkontribusi pada peningkatan motivasi dan kepercayaan diri anak dalam belajar.
Kesibukan dan Prioritas yang Dipertanyakan
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh ayah terkait ketidakhadiran adalah kesibukan pekerjaan. Alasan ini tentu tidak sepenuhnya keliru, mengingat tuntutan ekonomi keluarga yang nyata. Namun, persoalan mendasarnya bukan semata-mata soal ketersediaan waktu, melainkan tentang penentuan prioritas.
Dalam banyak kasus, keterlibatan ayah justru muncul ketika anak menghadapi masalah serius, seperti penurunan prestasi atau pelanggaran disiplin. Padahal, keterlibatan sejak awal melalui komunikasi rutin dengan sekolah dan perhatian terhadap hasil belajar dapat menjadi langkah preventif yang efektif.
Beban Asimetris dalam Pendidikan Anak
Ketidakhadiran ayah dalam urusan sekolah secara tidak langsung memperbesar beban yang harus ditanggung ibu. Selain menjalankan peran domestik dan mendampingi anak belajar di rumah, ibu juga menjadi satu-satunya pihak yang berinteraksi dengan guru dan pihak sekolah. Kondisi ini menciptakan ketimpangan peran dalam keluarga.
Keterlibatan ayah, meskipun dalam bentuk sederhana seperti mengambil rapor, dapat menjadi titik awal terciptanya pembagian tanggung jawab yang lebih seimbang. Pendidikan anak tidak lagi dipahami sebagai tugas individual, melainkan sebagai kerja kolektif dalam keluarga.
Kehadiran yang Bermakna
Perlu ditegaskan bahwa keterlibatan ayah tidak berhenti pada tindakan hadir secara fisik. Yang jauh lebih penting adalah sikap setelah rapor diterima. Membaca rapor secara cermat, mendiskusikan isinya dengan anak, serta menjadikannya sarana dialog yang konstruktif merupakan bentuk keterlibatan yang lebih substansial.
Pendekatan yang komunikatif dan tidak menghakimi akan membantu anak melihat rapor sebagai alat refleksi, bukan sebagai sumber tekanan. Dalam konteks ini, ayah berperan sebagai pendamping yang mendorong perbaikan, bukan sekadar penilai hasil akhir.
Kontribusi Lingkungan Sekolah
Sekolah juga memiliki peran strategis dalam mendorong keterlibatan ayah. Undangan resmi yang menyebut peran ayah dan ibu secara eksplisit, pengaturan waktu yang lebih fleksibel, serta komunikasi yang inklusif dapat menjadi pemicu tumbuhnya kesadaran kolektif akan pentingnya peran ayah dalam pendidikan.
Meski demikian, keputusan akhir tetap berada pada individu. Apakah ayah memilih untuk tetap berada di pinggir proses pendidikan anak, atau mulai mengambil peran lebih aktif sebagai bagian dari perjalanan belajar tersebut.
Langkah Sederhana dengan Dampak Jangka Panjang
Keterlibatan ayah dalam pengambilan rapor mungkin tampak sebagai tindakan kecil. Namun, dari langkah sederhana inilah relasi yang lebih dekat antara ayah dan anak dapat terbangun. Percakapan yang lahir dari rapor dapat membuka ruang kepercayaan, memperkuat ikatan emosional, dan membentuk pola komunikasi yang sehat dalam keluarga.
Jika tujuan pendidikan adalah membentuk generasi yang bertanggung jawab, percaya diri, dan merasa didukung, maka keterlibatan ayah sejak dini merupakan kebutuhan, bukan pilihan. Pertanyaan yang kemudian patut diajukan bukan lagi apakah ayah sempat, melainkan sejauh mana ayah bersedia hadir secara utuh dalam pendidikan anaknya. (*)


