TAJDID.ID~Medan || Gema “swasembada” yang diserukan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya pada Oktober 2024 disebut mulai mengalami pergeseran makna dan fokus. Analisis wacana menunjukkan konsep yang awalnya mencakup pangan dan energi kini tampak menyempit, sekaligus bertransformasi dengan penekanan baru pada “kedaulatan”.
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU dan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumatera Utara, melihat dinamika ini sebagai suatu keniscayaan politik.
“Swasembada dalam pidato pelantikan adalah visi besar, ‘grand narrative’. Namun, ketika berhadapan dengan realitas anggaran, geopolitik energi, dan kompleksitas pemerintahan, fokus itu akan menyempit ke isu yang dianggap paling mendesak dan paling terkait dengan legitimasi sejarah penguasa,” ujar Shohibul kepada media, Rabu (25/9).
Dari Nostalgia Menuju Kebutuhan Strategis?
Shohibul mengakui ada “jejak psikologis-politik” yang kuat dalam obsesi pangan Prabowo, yang terkait dengan pengalaman historisnya menyaksikan krisis pangan menjatuhkan rezim. Namun, menurutnya, menghidupkan nostalgia swasembada Orde Baru tanpa kritis adalah langkah mundur.
“Pidato yang merujuk keberhasilan Orde Baru dalam swasembada pangan bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi membangun legitimasi, di sisi lain membangun ekspektasi yang sama dengan model yang sudah usang. Model food estate yang digadang-gadang, dengan melibatkan TNI, sangat mengingatkan pada pendekatan masa lalu yang sering mengabaikan aspek ekologi dan hak masyarakat lokal,” tegasnya.
Belajar dari Burkina Faso: Kedaulatan Lebih dari Sekadar Produksi
Salah satu poin kritis yang diajukan Shohibul adalah perlunya pembelajaran dari pemimpin lain di Global Selatan, seperti Kapten Ibrahim Traoré di Burkina Faso.
“Traoré sukses meningkatkan produksi pangan domestik secara signifikan dalam waktu singkat, bukan dengan food estate korporat, tetapi justru dengan memberdayakan petani kecil dan menengah. Itu adalah proyek kedaulatan yang integratif: soal produksi, distribusi, keadilan, dan kemandirian dari pasar global,” paparnya.
Dia menambahkan, pendekatan Burkina Faso menunjukkan bahwa swasembada bisa dicapai tanpa mengulangi kesalahan Revolusi Hijau yang boros input kimia dan merusak lingkungan, serta tanpa menyingkirkan aktor utama pertanian: petani kecil.
Membangun Swasembada yang Inklusif dan Berdaulat
Untuk itu, Shohibul mendesak agar wacana swasembada pemerintah tidak terjebak pada monolog dan jargon di pidato.
“Dalam RAPBN 2026, istilah sudah berkembang ke ketahanan dan kedaulatan pangan. Ini konsep yang lebih maju. Sekarang, implementasinya harus mengisi makna itu. Swasembada yang berdaulat harus menjawab: siapa yang mengontrol sumber daya? Untuk siapa hasilnya? Dan dengan cara apa?,” tuturnya.
Dia menegaskan, swasembada sejati harus memenuhi empat kriteria: (1) ekologis, dengan memperhatikan keberlanjutan; (2) berkeadilan, dengan petani kecil sebagai subjek; (3) berdaulat, tidak hanya mengganti ketergantungan pada impor dengan ketergantungan pada korporasi domestik; dan (4) beragam, tidak hanya terpaku pada beras.
“Prabowo belajar dari sejarah Indonesia tentang pentingnya pangan untuk stabilitas. Tapi sekarang, beliau juga harus belajar dari praktik terbaik global, termasuk di Afrika, tentang bagaimana mencapai kedaulatan pangan dengan cara yang inklusif dan adil. Ujiannya bukan di angka statistik, tapi di piring rakyat kecil dan di penghidupan petani,” pungkas Shohibul Anshor Siregar. (*)








